Mohon tunggu...
Dellana Arievta
Dellana Arievta Mohon Tunggu... -

www.dellanaarievta.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanda-tanda Tanda

18 November 2015   14:38 Diperbarui: 18 Desember 2015   11:58 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika menelusuri sepanjang jalan Mangkubumi di Yogyakarta hingga jembatan Kerkweg (biasa disebut jembatan Kewek) sampai dengan tanggal 15 Desember 2015 mendatang, mata kita akan dimanjakan oleh karya 35 perupa yang berpartisipasi dalam Jogja Street Sculpture Project 2015. Salah satu karya yang cukup ‘menggelikan’ adalah karya milik Khusna Hardiyanto yang berjudul Tanda Untuk Tanda. Karya tersebut berupa papan rambu lalu lintas yang berisi peringatan ‘tikungan tajam ke kiri’, diletakkan di luar ruang (beberapa meter sebelum tikungan stasiun tugu) dengan dimensi 170 x 80 x 30 cm dan dibuat dengan material alumunium, scotlet, cat & besi.

 

 

 

Memaknai Sebuah Tanda

Tanda menurut Peirce ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain/representatif. Ernst Cassirer  (1944) menyebut manusia sebagai animal simbolicum (dalam Herusatoto, 2000: 9; Daeng, 2000: 80) maka, yang membedakan manusia dengan hewan adalah pemahamannya akan tanda. Setiap tanda menuntut untuk dipahami dan diinterpretasikan, hanya manusia lah makhluk yang mengenal budaya tanda yang dihasilkan manusia lainnya. 

Tanda dapat dimaknai sebagai tanda hanya apabila ia berfungsi sebagai tanda. Rambu-rambu yang terbelah dapat dikaitkan juga dengan aspek budaya Yogyakarta yang tidak dapat lepas dari filosofi Gunung Merapi dan Kraton. Kota Yogyakarta terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu Pal Putih, dan Gunung Merapi. Potongan lurus secara vertikal menggambarkan planologi kota Yogyakarta yang membujur dari utara hingga selatan yang sering dimaknai sebagai hubungan timbal balik, maka begitu pula dengan rambu-rambu lalu lintas, timbal balik antara makna tanda dengan pengguna jalan seharusnya dapat berjalan secara berkesinambungan.

Warna pada papan rambu lalu lintas memiliki berbagai makna, dilansir dari halaman web Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (http://dinhubkominfo.purbalinggakab.go.id/) terdapat enam macam rambu-rambu lalu lintas, dua di antaranya adalah rambu berwarna merah sebagai larangan, dan rambu berwarna kuning sebagai peringatan yang berisi indikasi bahwa kemungkinan terdapat bahaya beberapa meter kemudian. Pada dasarnya, warna kuning merupakan warna yang menarik perhatian.

Terlebih lagi, rambu-rambu lalu lintas terbuat dari material retro-reflektif, yaitu bahan yang dapat terlihat dengan baik di saat siang, malam maupun hujan, ironis jika kita hubungkan dengan statistik yang ditulis oleh tribunjogja.com, bahwa dari tanggal 10 Juli 2015 hingga tanggal 21 Juli 2015 terdapat 587 kasus pelanggaran lalu lintas pada Operasi Ketupat Progo 2015. Dengan begitu, nampaknya perencanaan dan pemasangan rambu lalu lintas yang diupayakan sedemikian belum dapat dimaksimalkan, karena meskipun warna yang dipilih adalah warna yang dianggap paling mudah mendapat perhatian pengguna jalan, kenyataannya tidak semua pengguna jalan menyadari keberadaan rambu-rambu tersebut. “Penjelasan mengenai fenomena psikologis dan fisik tidak selalu mudah – dan memang tidak penting. Dalam diri manusia, terdapat banyak hal aneh dan misteri yang tidak dapat dijelaskan  berkaitan dengan warna.” (Birren, 2010 : 199).

Berangkat dari konsep sang seniman: “Semakin banyak pengendara di jalan, maka semakin banyak pula yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas, perhatian pengendara pada tanda semakin berkurang, sehingga saya ingin menarik perhatian para pengendara dengan merusak tanda tersebut, sehingga mereka akan lebih memperhatikan tanda berikutnya.”

Pemilihan posisi rambu-rambu di dekat pot menggambarkan fungsi rambu-rambu di pinggir jalan kini tidak beda dari pepohonan di sekitarnya; hanya menjadi hiasan yang dilihat sambil lalu. Jika diamati, terbelahnya papan tersebut menjadi segitiga sama kaki menciptakan negative space yang membentuk segitiga baru. Ketiga segitiga tersebut dapat diasosiasikan sebagai tiga kategori masyarakat di Yogyakarta: Warga, Pemerintah, Kraton. yang menggambarkan bahwa pemerintah memberi jarak antara warga dengan Kraton. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun