Mohon tunggu...
Della Machza Nur Khaliza
Della Machza Nur Khaliza Mohon Tunggu... Lainnya - PELAJAR

Semangat Hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masalah Hukum dalam Covid-19

22 Juni 2021   11:20 Diperbarui: 22 Juni 2021   12:11 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beragam persoalan di segala sektor mengemuka akibat dari mewabahnya pandemi Covid-19.Manusia saat ini tengah menghadapi suatu krisis global yang mungkin menjadi salah satu krisis terbesar dalam kehidupan manusia. Kondisi ini menuntut setiap elemen masyarakat, pemerintah, dan elit politik untuk bersinergi dalam mengatasi kompleksitas implikasi yang ditimbulkan dari mulai kesehatan, ekonomi, sosial politik, sampai budaya.

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, yang belakangan telah dijamin haknya secara konstitusional. Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) 1949 “Penguasa senantiasa berusaha dengan sunguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”. 

Setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS di adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS. Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah menegaskan pula bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being).Istilah yang digunakan bukan “human rights”, tetapi “fundamental rights”, yang kalau kita terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi “Hak hak Dasar”. 

Kemudian pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, kesehatan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal 28H ayat (1) dinyatakan, bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Masuknya ketentuan tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menggambarkan perubahan paradigma yang luar biasa. Kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum (legal rights) yang tentunya dijamin oleh negara .

Penerbitan regulasi dalam rangka penanganan penyebaran Covid 19 merupakan  upaya untuk mendukung keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menetapkan wabah penyakit sebagai salah satu bencana non-alam yang perlu dikelola potensi ancamannya. Atas regulasi-regulasi tersebut maka upaya-upaya yang saat ini dilakukan adalah :

Social distancing atau jaga jarak aman yang diupayakan sebisa mungkin dapat menekan jumlah orang yang terinfeksi. Dengan sifat virus yang sangat mudah menular, social distancing tidak bisa lagi ditempatkan sebagai imbauan, melainkan kewajiban bagi siapa pun. Konsekuensinya adalah perlu segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan setingkat peraturan pemerintah untuk memastikan bahwa hal ini dapat ditaati semua warga negara. Ini adalah persoalan hukum.

Permintaan agar masyarakat melakukan social distancing kini masih sebatas imbauan dan tentu tidak cukup. Nyatanya, banyak orang masih mengabaikan dengan sengaja imbauan ini. Kawasan Puncak dan beberapa tempat hiburan bahkan masih ramai pada saat korban wabah bertambah. Masih banyak pihak yang melakukan kegiatan dengan jumlah orang yang banyak. Siswa dan mahasiswa yang diharapkan belajar dari rumah justru bermain di luar.

Untuk itu, kewajiban masyarakat untuk melakukan social distancing harus dimuat dalam peraturan, yang jika diabaikan akan menimbulkan konsekuensi berupa sanksi. Persoalan ini memang akan berkaitan dengan pembatasan hak individual. Maka, berdasarkan konstitusi, pembatasan hak harus didasari undang-undang. Presiden mungkin dapat mempertimbangkan untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang upaya-upaya penanganan wabah Covid-19, yang salah satunya mengatur bahwa social distancing adalah kewajiban. Pembatasan hak individual ini tentu sah karena kondisi sekarang adalah kondisi genting yang mengancam kesehatan publik.

Persoalan hukum lainnya berkaitan dengan keseimbangan antara hak-hak pekerja dan kewajiban kerja mereka. Pandemi ini menyerang khususnya sektor-sektor ekonomi. Dunia usaha mengalami kerugian yang tidak sedikit karena banyak usaha harus menghentikan produksi. Yang jelas, kesehatan pekerja tetap harus diutamakan sebagai kewajiban pelaku usaha yang telah diatur dalam undang-undang.

Untuk itu, pemerintah harus memastikan semua pelaku usaha, khususnya di daerah-daerah paling terancam, memberikan kebijakan internalnya yang lebih mendahulukan kesehatan pekerja daripada perhitungan untung-rugi usaha. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemerintah adalah pihak yang menjadi penengah antara pekerja dan pelaku usaha agar pemenuhan hak dan kewajiban di antara para pihak dapat seimbang.

Dalam situasi sulit seperti ini, pemerintah harus memastikan pelaku usaha tidak mengabaikan kewajiban mereka untuk memberikan upah yang menjadi hak pekerja, termasuk pekerja dengan upah harian. Namun, bagi usaha yang tetap mengharuskan pekerja masuk, diperlukan kebijakan mengenai waktu kerja, kesehatan lingkungan kerja, dan pola interaksi antar-pekerja untuk menghindari penularan virus corona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun