Mohon tunggu...
Hendra Mahyudhy
Hendra Mahyudhy Mohon Tunggu... Penulis - Deliriumsunyi

"Hilangnya ilmu pengetahuan adalah tanda-tanda kehancuran". Pekerja Text Komersil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batam: Secarik Kisah tentang yang Datang, Menetap, dan Pulang

1 November 2019   02:37 Diperbarui: 1 November 2019   13:13 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mentari tinggal terik bara tanpa janji. Kota tumbuh, kian asing, kian tak peduli; dan kita tersisih di dunia yang ngeri, dan tak terpahami ini" - Silampukau, Balada Harian.

Satu dekade yang lalu saya datang ke Batam meninggalkan kampung halaman di Payakumbuh, Sumatera Barat. Selaras dengan semua perantau, harapan di pundak tertancap sedari langkah awal. Batam katanya menyimpan ragam mimpi bagi yang berani berjuang. Ragam misteri bagi yang percaya kuasa illahi.

Seyogyanya saat itu saya hanya berpikir untuk bekerja di pabrik-pabrik, atau hanya menjadi buruh kelas industri, sembari menitipakan harapan pada masa depan, sembari memikirkan biaya hidup harian.

Kebetulan saya berasal dari Sumatera Barat, didominasi suku Minang dengan budaya merantau merupakan warisan leluhur kami. Kepergian meninggalkan tanah leluhur hanya karena dua hal;

Pertama perihal indentitas budaya lokal yang diwarisi dari leluhur melalui falsalah adat, "Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan". Falsafah yang cukup keras memang, jika diartikan mungkin seperti ini "Jika kau sayang ke anakmu, ketika dia salah marahi (pecut). Jika kau sayang dengan kampung, pergilah merantau biar tahu rasanya kerinduan akan kampung halaman".

Alasan kedua tepatnya lebih pada basis hidup perekonomian keluarga. Hal ini hampir sama di setiap daerah, dilema kaum middle class atau kelas menengah ke bawah yang nyatanya di kampung halaman tak ada jaminan untuk hidup dan terus berkembang. Sementara untuk melanjutkan sekolah ke bangku kuliah dana tak mumpuni.

Alasan saya merantau lebih pada penjabaran kedua, kehidupan keluarga yang pas-pasan, sementara sebagai anak pertama beban dipundak tidak hanya persoalan personal. Suku Minangkabau menyebutnya dengan "membangkit batang tarandam". Harapan pergi merantau yaitu agar mampu mengangkat ekonomi keluarga.

Nyatanya, hidup seakan-akan rentetan peristiwa, misteri dan tragedi. Banyak hal yang membuat peruntungan tak selalu dimiliki. Batam pada dasarnya memberi harapan. Hanya dalam hidup tak melulu tentang kecakapan, ada keberuntungan dan peran krusial relasi untuk bertahan.

Berbicara tentang kota impian (city of dream) saya jadi teringat akan esai karya E.B. White berjudul "Here is New York". Dia membagi New York atas 3 rupa. Pertama perihal kota megah milik orang-orang yang tumbuh berkembang sedari kecil di dalamnya. Kedua untuk kaum pekerja yang datang dari kawasan satelit. Ketiga untuk perantauan seperti saya. Penjabaran ini juga dituliskan Dea Anugrah dalam tulisannya di Asumsi.

Sebagai golongan ketiga, Batam bagi saya walau bisa dikatakan kota yang masih mencari jati diri, tetapi bayangan pabrik elektronik dan galangan kapal membuat saya ingin menambatkan impian. Tak muluk-muluk. Cukup gaji lancar sesuai standar, biaya harian terpenuhi dan bisa kirim bagian ke kampung halaman agar orangtua merasa bahagia.

Nyatanya mimpi tentang kota impian itu bukanlah persoalan hidup yang sederhana. Sebagai bagian dari basis middle class yang juga saat itu baru hanya sebatas tamatan SMA. Persoalan mimpi ini ibarat turun ke jurang yang cukup dalam, lalu merangkak naik ke atas agar bisa sampai kepermukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun