Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pinocchio: Journalism Dalam Drama Korea

10 Mei 2021   13:24 Diperbarui: 10 Mei 2021   13:27 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, sebanyak 53 orang prajurit Angkatan Laut Republik Indonesia yang bertugas di Kapal Selam KRI Nanggala (402) dinyatakan gugur di laut. KRI Nanggala yang sedang berpatroli di perairan utara Bali, tiba-tiba kehilangan daya listrik sehingga kehilangan kendali. KRI Nanggala 402 pun terseret gelombang soliter sampai ke kedalaman 838 meter. Gelombang soliter adalah gelombang bawah air yang terjadi ketika dua kedalaman laut yang berbeda bertemu sehingga menghasilkan tarikan dan dorongan yang kuat dan berbahaya.

Setelah itu seperti yang sudah diketahui bersama, masyarakat Indonesia seperti bersedih bersama-sama. Emosinya teraduk-aduk. Simpati dan bela sungkawa bertebaran di media sosial. Do'a juga dihaturkan baik untuk prajuri yang meninggal maupun bagi keluarga yang ditinggalkan. Pemerintah pastinya bergerak lebih dari itu. Selain menyampaikan berbagai penghargaan terhadap para prajurit yang meninggal, jaminan pendidikan pun diberikan bagi anak-anak prajurit yang meninggal.

Pastinya tidak ada yang keliru dengan respon diatas. Kebanyakan orang yang menonton berita tenggelamnya KRI Nanggala dan membayangkan diri sendiri dalam posisi keluarga para prajurit tersebut, pasti akan ikut sedih dan berempati. Terlebih ketika diurai lebih dalam resiko apa saja yang mesti dihadapi para pelaut ketika menjalankan tugas di kedalaman laut. Karena seperti itulah hidup bermasyarakat dan berbangsa. Kita akan ikut terluka dan berduka ketika melihat sesama terluka.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan, kenapa respon seperti itu yang dominan? Kita memang harus bersedih, ketika melihat prajurit yang meninggal dalam menjalankan tugas. Terlebih bukan di masa perang. Namun kenapa kita tidak merasa perlu marah melihat prajurit yang meninggal justru bukan di masa perang. Apakah karena resiko menjadi prajurit itu adalah kematian lalu ketika kematian menimpa mereka, kita merasa tidak perlu bertanya tentang siapa yang bertanggung jawab.

Adalah tidak keliru bila masyarakat yang tersentuh dengan peristwa tersebut, lalu bergotong royong mengumpulkan uang untuk membeli Kapal Selam bagi Angkatan Laut kita. Namun orang jadi absen untuk bertanya bagaimana pengadaan alutista di Republik ini. Kenapa sampai ada Kapal Selam yang sudah tua masih tetap dipakai sehingga mendatangkan maut bagi para prajurit angkatan laut kita.

Mungkin pertanyaan-pertanyaan diatas terasa usil dan tidak menunjukan rasa empatik di kala duka. Meskipun bukan pertanyaan filosofis, tapi menganggu seperti gadfly. Namun justru dari pertanyaan-pertanyaan seperti itulah kita bisa menghindarkan diri dari kedukaan untuk kasus yang sama di masa yang akan datang. Lebih dari itu, karena dari pertanyaan-pertanyaan seperti itulah kita akan menemukan banyaknya bolong-bolong yang mestinya segera diperbaiki untuk menghindarkan kedukaan yang jauh lebih dalam dan perih.

Karena pertanyaan-pertanyaan seperti ini luput dikemukakan, kita jadi tidak melihat keterkaitan antara tenggelamnya KRI Nanggala 402 dengan politik anggaran, penanganan pandemi atau pertumbuhan ekonomi di masa pandemi.

Sebagaimana diketahui, tenggelamnya KRI Nanggala terjadi di masa Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Selain ancaman nyawa, efek paling nyata dari pandemi adalah terjadinya guncangan ekonomi. Karenanya konsentrasi pemerintah pun terpecah. Tidak hanya menyelematkan nyawa yang terancam, tetapi juga menyelematkan ekonomi.

Tidak seperti masa normal yang melihat kestabilan ekonomi sebagai indikator keberhasilan kinerja ekonomi nasional, maka menghindarkan ekonomi dari resesi dan menjaga ekonomi tetap di garis positif, adalah indikator keberhasilan ekonomi di masa krisis seperti sekarang. Syukur-syukur bila ekonomi tumbuh positif seperti masa normal.

Karena dalam krisis ekonomi daya beli masyarakat turun drastis, sementara konsumsi adalah penopang pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah pun melakukan berbagai macam kebijakan fiskal demi memperkuat daya beli. Disamping berbagai macam penurunan pajak dan bantuan langsung masyarakat, government expenditure, belanja pemerintah, adalah instrument penting dalam mendongkrak daya beli masyarakat. Government expenditure didorong sedemikian rupa sehingga memperkuat sisi demand yang terpuruk karena krisis.

Sementara itu, Indonesia kerap dianggap sebagai negara yang selalu bisa keluar dari krisis ekonomi. Seperti sukses nya keluar dari krisis ekonomi di tahun 2008 yang disebabkan guncang nya pasar keuangan di Amerika. Namun di sisi lain, Hanya saja Indonesia juga dianggap negara yang kerap membutuhkan waktu recovery dari krisis ekonomi yang cukup panjang. Berhasil keluar dari krisis, tapi sulit mencapai keadaan ekonomi seperti sebelum krisis. Recovery time yang lama dari krisis, itu seperti orang berpenghasilan 10 Juta per bulan lalu pendapatannya jatuh menjadi minus tapi berhasil keluar dari krisis sehingga tidak bankrut, gila atau stress. Hanya saja membutuhkan waktu lebih lama untuk mempunyai penghasilan seperti sedia kala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun