Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Salah Bertanya dalam Penanganan Pandemi Covid-19

10 April 2020   07:10 Diperbarui: 10 April 2020   07:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah Bertanya

Anggap saja kita sedang berada di Jakarta dan harus bergerak. Maka pastilah pertanyaan awal dan paling dasar adalah, ke manakah kita mesti bergerak? Bila kita sudah mendapat jawaban pertanyaan awal itu, mesti muncul pertanyaan kedua. Bagaimanakah cara kita bergerak ke sana. 

Anggap saja kita harus bergerak ke Bandung. Maka pertanyaan keduanya adalah, bagaimana cara kita bergerak ke Bandung?Moda transportasi paling tepat apa yang mesti dipakai?Dimana kita mesti naik dan turun dan kapan waktu terbaik untuk berangkat.

Kira-kira seperti di ataslah saya memahami hubungan antara Agama dan Science. Agama memberikan arah apa tujuan kita dalam hidup. Namun mengetahui cara kita mencapai tujuan, itu adalah wilayah sains. Karenanya dahulu, banyak agamawan yang juga ilmuwan. Karena antara Agama dan Pengetahuan itu saling melengkapi. Tidak bertentangan.  

Bila kita bertanya pada Agama manapun apa yang harus dilakukan menghadapi wabah, pasti jawabannya selamatkan nyawa. Karena nyawa itu lebih berharga dari apapun juga. Hidup itu anugrah. Menyelematkan satu nyawa, seperti menyelematkan seluruh semesta. 

Namun bagaimana cara kita menyelematkan nyawa ditengah pandemi, maka seperti yang dikatakan editorial The Jakarta Post pada Rabu lalu, Science first. Mari bertanya ke para ilmuwan. Bila para Matematikawan bisa mempetakan kemungkinan jumlah korban pada masa akan datang, maka para epidimiologist atau pakar kesehatan masyarakat pasti bisa mempetakan apa yang harus dilakukan. Test massif, karantina, cuci tangan memakai sabun, memakai masker, physical distancing adalah cara yang diberi tahu para ilmuwan.

Dalam perkara Covid-19 ini, masyarakat kita itu hanya keliru tempat bertanya dan kebetulan beberapa orang yang ditanya juga keliru menjawab. Jawaban yang disampaikan, melewati batas posisi dirinya. Masyarakat mencari tahu cara menghadapi wabah dengan bertanya ke agamawan bukan ilmuwan. Akibatnya beberapa cluster penyebaran justru datang dari kegiatan keagamaan. Karena solusi ilmuwan itu menghindari kumpulan orang banyak, bukan membuat kumpulan orang banyak. Meskipun itu kegiatan keagamaan.

Rumitnya di Indonesia, kekeliruan bertanya ini juga dilakukan para pengambil kebijakannya.

Untuk negara yang dianggap sangat berhati-hati, Jerman sempat dianggap negeri yang lalai menghadapi pandemi corona. Ketika virus corona sudah menyebrang ke Jepang, Jerman masih belum begitu aware. Di Jerman memang penyakit ini disebut dengan Pandemi of Skiers. Pembawa virusnya bukan orang China, tapi orang Jerman yang bermain Ski di negeri tetangganya.

Namun Jerman mengoreksi sikapnya. Ketika wabah sudah memasuki Italia, Jerman sigap. Perbatasan-perbatasan langsung diblokir, sekolah-sekolah ditutup, mobil-mobil berkeliling kota untuk melakukan test massif dan Angela Markel berbicara di publik menjelaskan apa yang sedang terjadi dan mengajak semua bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk. 

Lalu, dan ini yang sangat penting, Jerman menjadikan ilmuwan sebagai rujukan tempat bertanya dalam menghadapi wabah. Robert Koch Institute adalah tempat berkumpulnya 450 ilmuwan bidang kesehatan publik milik pemerintah federal Jerman. Lembaga penelitian ini adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya Angela Markel menangani krisis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun