Pramoedya juga meminta bantuan temannya seorang Guru Besar di Belanda untuk melacak ceceran karya Hadji Moekti ini di Leiden. Kejadian yang tidak dialami oleh angkatan Balai Pustaka.
Namun terlepas dari keberadaan Balai Pustaka yang menopang penerbitan karya sastra pada tahun 1920an, kalau kita perhatikan profil penulis-penulis angkatan Balai Pustaka, selain Merari Siregar, maka hampir semuanya adalah orang urang awak. Penulis seperti Tulis Sutan Sati, Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, Nur Sutan Iskandar, dari namanya sudah bisa prediksi asal mereka
Saya belum membaca semua karya sastra Angkatan Balai Pustaka, namun besar dugaan saya bila kita melihat latar belakangnya, maka geographis dan kondisi budaya Minangkabau atau setidaknya perspektif orang Minangkabau dalam melihat realitas sosial, akan menjadi hal dominan. Setidaknya ini terlihat kalau kita mengingat kembali cerita tentang Siti Nurbaya yang mashur itu.
Melalui novel ini, orang bisa mengetahui posisi dan relasi adat dengan perempuan dalam masyarakat Minang. Kita juga mengetahui satu gelar adat yang mempunyai posisi penting dalam masyarakat Minang, yaitu Datuk, karena akan terkenang dengan nama Datuk Maringgih.
Namun pastinya tidak seluruhnya seperti itu. Setidaknya buku Si Doel Anak Betawi yang ditulis Aman Datuk Madjoindo adalah cerita tentang anak Betawi bukan tentang orang Minang.
Ketika melihat angkatan Balai Pustaka dominan diisi hampir 100% orang Minang, saya agak berimaginasi. Dalam imaginasi saya, jangan-jangan bila supremasi budaya orang Minang ini dilanjutkan dengan supremasi politik, maka isu yang terjadi di Indonesia ini mungkin bukan tentang Jawanisasi, tetapi Minangisasi. Terlebih secara politik, banyak orang Minang yang merupakan elite politik Indonesia pada masa-masa pembentukan negara ini.
Kalau Orde Baru memperkenalkan sistem pemerintah Desa yang diadopsi seluruh wilayah Indonesia, bisa jadi kalau orang Minang berkuasa maka sistem Nagari lah yang diadopsi.
Secara akademik, bila analisis sosial politik Indonesia sering membagi masyarakat Indonesia kepada Santri-Abangan, sebagai sebuah temuan penelitian di masyarakat Jawa, bisa jadi kalau orang Minang yang berkuasa, maka isyu nya bukan Santri-Abangan tapi orang Siak (karakter yang lebih mendekati Santri) dan orang Parewa (karakter yang lebih mendekati abangan)
Tapi sebagaimana diketahui, orang Minang yang pada masa-masa awal kemerdekaan merupakan elit politik penting, tidak bersambung ke masa Orde Baru. Presiden Orde Baru dikenal orang yang sangat teguh memegang filosofi dan leadership Jawa ketika memimpin.
Kembali ke Balai Pustaka dan Judul diatas
Meski angkatan Balai Pustaka dominan diisi oleh orang Minang sementara Buya Hamka adalah orang Minang yang juga banyak menulis novel yang memperkenalkan budaya Minang, adalah kekeliruan bila Buya Hamka digolongkan sebagai angkatan Balai Pustaka. Bersama Sutan Takdir Alisyahbana, para pemerhati mengkategorikan Hamka masuk dalam angkatan Pujangga Baru. Sebuah generasi yang melakukan koreksi terhadap angkatan Balai Pustaka yang dianggap kerap melakukan sensor tulisan yang berkaitan dengan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.