Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Adakah Titik Kulminasi Politik Uang?

13 Mei 2019   15:31 Diperbarui: 14 Mei 2019   14:45 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Himbauan tolak politik uang dipasang warga di daerah pemukiman penduduk di Sukabumi Utara, Jakarta, Sabtu (28/1/2017). Ancaman pidana 6 tahun dan denda Rp 1 Milyar berdasarkan pasal187 A UU No.10 tahun 2016, dapat dikenakan pada pemberi maupun penerima.(KOMPAS/LASTI KURNIA)

Secara bahasa, kulminasi bermakna tertinggi atau puncak. Secara istilah, kulminasi adalah titik tertinggi yang dicapai suatu benda langit dalam peredaran (semunya) mengelilingi bumi. Seperti matahari yang mencapai titik kulminasi pada pukul 12.00 atau ketika matahari tepat berada di atas kepala manusia. 

Bila sesuatu sudah mencapai titik kulminasi maka setelah itu dia akan berangsur-angsur turun. Seperti Jam 12.00 yang menjadi titik kulminasi matahari dan mengakibatkan seterik-teriknya cuaca di siang hari, maka setelah Pukul 12.00, panas terik di Bumi akan berangsur-angsur turun.

Di Kalimantan Barat, Pontianak, ada peristiwa penting di Tugu Khatulistiwa karena disebabkan titik kulminasi Matahari. Ketika Matahari berada tepat diatas kepala, bayangan Tugu Khatulistiwa beserta benda-benda lain di sekitarnya hilang beberapa detik saat diterpa sinar Matahari. 

Setelah itu, bayangan di Tugu dan benda-benda lain sekitarnya berangsur-angsur muncul kembali. Peristiwa ini terjadi setahun dua kali antara 21-23 Maret dan 21-23 September.

Bila titik kulminasi Matahari bisa diprediksi waktunya, lalu kapankah terjadinya titik kulminasi politik uang di Indonesia? Sebuah titik ketika Politik Uang dalam pemilu mencapai titik puncaknya atau kebosanannya, setelah itu berangsur-angsur turun hingga normal kembali.

Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, saya sempat mengangap bahwa itu adalah tahun titik kulminasi Politik Uang. Karena bila pemilu sebelumnya politik uang itu terjadi pada shubuh hari H, serangan fajar, maka tahun 2009 politik uang berlangsung lebih canggih. 

Bukan hanya terjadi sebelum fajar muncul, tetapi sebelum malam menjelang. Di kampung saya, sore hari H-1 pemilihan sudah ada truk yang mengangkut kerudung, warna kerudungnya disesuaikan dengan warna partai, keliling kampung membagi-bagikan kerudung ke masyarakat di pinggir jalan. 

Sebelum nantinya disambung dengan serangan fajar. Waktu itu orang mengatakan bahwa pemilu 2009 adalah pemilu paling brutal.

Berbekal prediksi bahwa 2009 adalah titik kulminasi politik uang, maka saya memasuki Pemilu Legislatif 2014 sebagai Calon Legislatif dengan perspektif berbeda dan lebih positif. Bila memenangkan sebuah pemilu butuh biaya besar, maka biaya yang harus disiapkan itu adalah biaya politik atau cost politic. 

Rekrutmen dan operasional relawan, pemasangan alat peraga, biaya pertemuan, pemetaan dan lain sebagainya, adalah hal mendasar yang mesti dipenuhi. Tidak perlu biaya serangan fajar yang sangat besar karena saya anggap itu tidak efektif.

Salah satu meme tolak politik uang yang disebar Bawaslu Sulsel jelang hari pencoblosan Pemilu 2019 yang jatuh pada 17 April mendatang. (Bawaslu Sulsel)
Salah satu meme tolak politik uang yang disebar Bawaslu Sulsel jelang hari pencoblosan Pemilu 2019 yang jatuh pada 17 April mendatang. (Bawaslu Sulsel)
Namun prediksinya meleset. Politik uang berjalan lebih ganas. Salah satu rival politik beda partai, munculnya hanya sekali-sekali tiga bulan menjelang pemilihan. 

Beberapa minggu sebelum pemilihan, timsesnya bukan kelimpungan memikirkan potensi raihan suara, tetapi kerepotan mencari beberapa gudang logistik yang representatif, untuk menampung kiriman sembako dari pusat, dan strategis, supaya bisa mendistribusikan logistik secara cepat, tepat dan aman ke pemilih. 

Malam menjelang pemilihan, mobil saya yang dikendarai saudara dikuntit beberapa pengendara motor. Bukan untuk membegal, tetapi karena mereka melihat ada benda seperti karung di jok belakang dan dianggapnya itu sebagai uang yang akan dibagi-bagikan. 

Sementara itu seorang teman menceritakan polah tetangganya pada H-1 pemilihan. Dengan modal duduk-duduk di depan gang rumah di malam pemilihan, dia bisa mendapat uang lebih dari Rp 2 Juta dari orang yang berseliweran membagi-bagi amplop berisi uang dan kartu nama caleg.

Waktu itu, orang yang mengatakan bahwa pemilu 2009 sebagai pemilu paling brutal, berubah. Mereka mengatakan bahwa pemilu 2014 lah yang paling brutal. Rating pemilu 2009 turun hanya disebut sebagai brutal saja. Bukan paling brutal.

Memasuki masa-masa awal pemilu legislatif 2019 saya was-was. Apakah politik uang akan makin menggila atau menurun. Prediksinya masih fifty-fifty. Karena di satu sisi kita menganggap bahwa 2014 sudah sangat brutal dan berharap itu adalah titik kulminasi. 

Namun sejumlah fenomena menunjukan hal sebaliknya. Indikator awal terlihat pada Pilkada DKI. Jauh sebelum timline media sosial dipenuhi foto tentang mobil yang berseliweran membawa paket sembako Cagub, seorang teman yang berdomisili di Jakarta menceritakan bahwa H-7 pemilihan, dirinya beserta masyarakat sekitar sudah dihubungi tim pemenangan untuk didata dan diminta kesediaan memilih Cagub tertentu dengan imbalan paket sembako. Harga paket bervariasi mulai dari 350 ribu--750 ribu/paket/keluarga

Mungkin diantara puncak afirmasi bahwa eskalasi politik uang pada pemilu kali ini akan makin menggila adalah ketika KPK menangkap Bowo Sidik Pangarso dengan 400.000 amplop siap edar untuk serangan fajar. 

Perkembangan selanjutnya menunjukan bahwa suap Bowo ini melibatkan BUMN, Mentri, koleganya sesama Caleg dan timses, dan total 1 juta amplop yang sudah disiapkan. Padahal ini baru dari satu caleg.

Karenanya tidak aneh bila pada hari H pemilihan, politik uang bukan hanya makin massif tapi tarifnya makin besar. Salah seorang caleg di tempat saya mukim, mesti menghabiskan uang sampai Rp 1.5 Milyar untuk terpilih jadi DPRD. 

Jumlah uang fantastis bagi calon anggota legislatif tingkat Kabupaten. Sementara di tempat lain, adalagi caleg yang membagi-bagikan uang sampai Rp 30 Milyar supaya terpilih. Beritanya, sangat mudah ditelusuri di media. 

Daftar politik uang ini akan makin panjang bila kita menambahkan apa yang diungkap mantan Komisioner KPK, Bambang Widjoyanto, sebagai bagian dari politik uang yang nyata juga adanya.

Karena itu sekarang banyak orang mengatakan bahwa pemilu 2019 adalah pemilu paling brutal. Rating pemilu 2014 sebagai pemilu paling brutal seperti turun hanya menjadi pemilu brutal saja. Karena pemilu 2019 lah pemilu paling brutal. Itupun hanya kesimpulan sementara. Karena kita belum tahu apa yang akan terjadi di 5 tahun berikutnya.

Lalu adakah titik kulminasi politik uang di Indonesia?

Jika melihat tren, sepertinya keliru bila politik uang di Indonesia di analogikan dengan pergerakan Matahari dan Bumi dengan titik kulminasi sebagai konsep patokan. Karena ini berkaitan dengan uang dan kekuasaan, politik uang di Indonesia lebih tepat disandingkan dengan transfer pemain sepakbola. Eskalasinya makin lama makin menggila dan seperti tidak memiliki titik kulminasi.

Pada tahun 1992, AC Milan sempat disebut gila dan dikecam dengan mentransfer seorang Gianluigi Lentini seharga 13 Juta Poundsterling dari Torino. Nilai transfer yang tidak hanya memecahkan rekor transfer kala itu, tapi merusak harga pasaran pemain. Terlalu mahal untuk seorang Lentini yang belum jelas prestasinya apa dan datang dari klub medioker. 

Nilai transfer nya lebih mahal dibanding seorang Ruud Gullit yang berharga 6.75 Juta Euro dan Jean Piere Papin seharga 10 Juta Poundsterling yang jelas prestasi dan konstribusinya pada klub sebelumnya.

Tapi selanjutnya kita melihat bahwa 13 Juta Poundsterling seorang Lentini menjadi harga yang tidak bermakna. Setelah sempat geger dengan nilai transfer Ronaldo senilai 19.5 juta poundsterling dari Barcelona ke Inter Milan. 

Dunia mengejek dan mengecam Real Betis yang mau mengeluarkan uang 21.5 Juta Poundsterling untuk seorang Denilson. Pengejek Real Betis beberapa tahun kemudian pasti akan kecele. Karena pada tahun 2016 Manchester United menghargai Paul Pogba senilai 89 Juta Poundsterling untuk menariknya dari Juventus. 

Setahun kemudian nilai Pogba menjadi receh kembali ketika PSG membeli Neymar dari Barcelona dengan harga dua kali lipatnya, sekitar 200 Juta Pounsterling atau 222 Juta Euro.

Sebagaimana politik uang yang pasti digerakan sifat transaksional, maka begitu juga dengan nilai transfer pemain sudah mempertimbangkan keuntungan balik. Seperti ketika Juventus yang dianggap berlebihan membeli Cristiano Ronaldo yang sudah tidak muda lagi dari Real Madrid dengan nilai Rp 1,69 Triliun. 

Ternyata karena transfer itu, dalam waktu sekejap Juventus meraup keuntungan berlipat. Sahamnya naik tajam 22%, sekitar Rp 2,7 Triliun, 95% tiket terusan ludes meski harganya naik 30%, penjualan 520.000 buah Jersey dalam waktu 24 Jam atau bernilai sekitar Rp 915 Milyar, dan penambahan jumlah fans sampai dengan 400.000 follower di twitter.

Jadi sepertinya politik uang di Indonesia lebih menyerupai nilai transfer pemain sepak bola ketimbang menyerupai pergerakan Bumi dan Matahari. 

Apalagi pada pemilu kali ini ada fenomena baru, tidak sedikit yang merasa tidak perlu mengkritisi politik uang. Politik uang dianggap lumrah dan bukan sebuah kecurangan. Padahal posisinya penonton dan pengamat politik bukan caleg atau politisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun