Mohon tunggu...
Delfi Yudha Frasetia
Delfi Yudha Frasetia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Editor in Chief di http://katabangdel.com/ Character Education Enthusiast | Business Analyst | Co-Founder MGI Foundation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Juga Harus Bergegas Berubah

25 November 2017   12:19 Diperbarui: 25 November 2017   14:36 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari ThoughtCo

Ketika fungsi Google sukses mengubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, apakah Google pantas disejajarkan dengan guru? Sebenarnya saya juga tidak setuju dengan itu (barangkali sama dengan kebanyakan pembaca). Saya juga pikir fungsi guru lebih dari pada itu. Mereka menuntun, membimbing, hingga mengarahkan kita menjadi pribadi yang terbaik.

Tapi kalau kembali kita timbang, hampir sebagian besar ilmu yang diberikan guru zaman now, juga mudah ditemukan oleh Google. Apakah menyamakan keduanya terlalu berlebihan? Atau justru kelewatan. Di dalam akal sehat kita pasti berkecamuk pembelaan untuk guru-guru kita, karena itu juga yang saya coba lakukan. Berusaha mengingat memori terbaik untuk menguatkan premis bahwa guru adalah sumber ilmu terbaik, bukan si Google.

Lalu sambil menatap ke langit-langit sembari tangan melipat dan menyangga kepala, saya mencoba flashback.Hasilnya, maaf Sahabat pembaca, saya sulit betul mengingat guru yang melekat sebagai sosok inspiratif dan terkenang belasan hingga bahkan puluhan tahun, apalagi ilmunya. Tapi itu yang saya rasakan. Artinya itu yang saya alami. Jika Sahabat lakukan hal serupa, mungkin hasilnya bisa berbeda. Karena mungkin saja Sahabat pernah diajarkan oleh guru-guru yang sungguh memorabledan ilmu-ilmu mereka melekat hingga saat ini.Jelas, beda kelas beda pengalaman. Konon lagi beda sekolah.

Tapi ini menjadi penting, karena sudah sepatutnya seorang guru menempati ruang spiritual di setiap anak didiknya. Iya sama seperti guru spiritual yang selalu kita alamatkan pujian dan terima kasih karena sumbangsihnya pada hidup kita. Sekarang yang terjadi rasanya jarang ada orang yang memberikan penghargaan itu kepada guru-guru mereka. Bukankah itu menjadi salah-satu tanda bahwa sebagian besar guru di Indonesia belum menyentuh ruang batin siswanya.

Dewasa ini, saya baru paham bahwa guru bekerja sesuai kurikulum. Begitu besar energinya ia curahkan untuk mendidik sesuai perintah pusat, dibandingkan sesuai kebutuhan anak. Menjadi ironis karena tuntutan pemerintah menjadi dasar penilaian kinerja guru. Alhasil tidak ada kesempatan bagi para guru untuk mendidik para murid sesuai dengan perkembangan dinamika sosial yang ada. Kalaupun sempat, balik lagi pada hitung-hitungan capai dan gaji.

Kalau setiap guru masih seperti ini, agaknya bangsa ini cukup sulit bagi guru untuk menggali kebutuhan siswa. Apalagi untuk merespon perubahan dunia yang begitu dinamis. Alhasil guru-guru terjerembab pada rutinitas zona nyaman, tanpa ingin memperbaiki arah yang seharusnya ia ambil. Terlebih lagi pemerintah menjanjikan insentif yang sepadan untuk guru yang memenuhi target. Ketika sebutan guru benar-benar diperuntukan untuk sebuah profesi, maka celakalah. Kita tinggal menghitung saja berapa banyak siswa yang menjadikan aktivitas belajar sebagai alat mengeruk materi, dan bukan menemukan makna hidup yang hakiki.

Guru zaman now

Saya ingin kasih contoh perubahan yang mendesak harus digegas pada guru. Setiap siswa di negara-negara barat, zaman dahulu diwajibkan untuk mengenakan pakaian seragam, duduk dibangku yang berderet rapi, sebenarnya bukan tanpa alasan. Revolusi industri yang menuntut jumlah pekerja buruh yang melimpah dan terdidik, membuat sekolah merespon kebutuhan tersebut dengan mencetak generasi calon pekerja lewat pendidikan. Sistem pendidikan di sana pada waktu itu mewajibkan keseragaman, punya kemampuan menghapal yang baik, disiplin, dan keteraturan. Karena hal itu yang paling dibutuhkan dunia kerja.

edutopia-5a18ec89c81c633f100dc772.jpg
edutopia-5a18ec89c81c633f100dc772.jpg
Saat dunia barat telah beranjak haluan, dari industri menuju era informasi, apakah sistem pendidikan yang serupa masih di terapkan? Jawabannya tidak. Anak-anak mulai dibebaskan berkreasi, berimajinasi, hingga memakai pakaian yang sesuai keinginannya. Tujuannya adalah agar generasi penerus mereka tumbuh menjadi generasi kreatif dan inovatif sebagai pemain-pemain utama di era informasi. Apakah kemudian di Indonesia sistem pendidikan mengalami penyesuaian zaman? Jawabannya bisa kita lihat seperti sekarang. Para guru masih asyik meminta muridnya menghapal. Seragam diwajibkan dengan membawa-bawa alasan kesetaraan. Dan semua siswa harus duduk diam saat guru menjelaskan.

Kalau kita pikir, apa yang sedang berlangsung pada sistem pendidikan Indonesia, tanpa kita sadai hanya mengamini bahwa generasi masa depan Indonesia harus selalu menjadi buruh yang tertib dan mampu diandalkan. Itu tadi masih di era informasi. Saat ini sudah memasuki era digitalisasi. Bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia? Kita belum beranjak, saat dunia lain sudah melangkah dua era.

Ketika kurikulum begitu sulit kita jamah karena dihuni banyak kepentingan, maka atas alasan itu saya sebut dari awal bahwa guru benar-benar menjadi pemegang tombak yang paling menentukan. Saya coba mengingat kembali sebuah tontonan film dokumenter yang sangat bagus, rilis lima atau enam tahun lalu dengan judul Waiting for "Superman". Cerita film yang ditulis dan disutradarai oleh Davis Guggenheim ini menceritakan tentang kondisi "sebenarnya" (inside condition) sistem pendidikan yang ada di Amerika Serikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun