Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ritual Using dalam Tafsir Rakyat, Negara, dan Pemodal

17 Maret 2023   00:39 Diperbarui: 19 Maret 2023   20:40 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari Seblang sedang menggendong boneka dan menari. Foto: kompas.com/Ira Rachmawati

Dalam perkembangan mutakhir, Gredoan bergerak berbalik arah. Kini menjadi media atau fasilitas bertautnya lelaki-perempuan secara lebih bebas sehingga banyak warga yang mulai gerah. 

Untuk diikhlaskan mati seperti tradisi bathokan karena hanya memperburuk citra masyarakat Using, tampaknya tidak mudah karena 'Gredoan modern' mendapat penyangga baru, yaitu kekuatan modal dan komersil. Juga pemerintah setempat yang menjadikan proyek pariwisata.

Tradisi Gredoan memang berasal dari kearifan lokal masyarakat Using, khususnya di beberapa desa di Kecamatan Kabat, yakni Gomboroling, Macanputih, dan Tambong, dan satu desa di Kecamatan Rogojampi, Desa Cangkring. Tradisi ini berawal ketika mereka menyambut Maulud Nabi Muhammad SAW (Muludan). 

Setiap tradisi Muludan, anak atau keponakan perempuan yang masih single akan membantu memasak di dapur. Dari dinding yang terbuat dari bambu para pemuda akan mengintip. Sebagai salam perkenalan, si pemuda memasukkan lidi. Kalau si gadis menarik lidi itu, berarti ia berkenan untuk berkenalan dengan si pemuda. Dari situlah awal hubungan dekat terbina dan mengarah ke pernikahan. 

Namun, zaman sudah berubah; lain dulu, lain sekarang. Rumah berdinding bambu sudah semakin jarang, sehingga tidak bisa lagi mengintip anak gadis. Lucunya, meskipun proses Gredoan tradisional sudah tidak ada lagi, tradisi mencari jodoh dalam peryaan Muludan itu masih saja dinamai Gredoan. 

Masyarakat Banyuputih dan desa-desa lainnya yang masih menjalankan tradisi itu, memiliki pola pikir esensialis dalam memandang sebuah ritual. Mereka membayangkan adanya peristiwa masa lampau yang tetap berlangsung di masa kini---sebuah budaya lokal. 

Padahal adegan "memasukkan lidi ke dalam dinding bambu" sudah tidak ada lagi, diganti adegan berkenalan dengan cewek di depan panggung musik dangdut sembari bertukar nomor ponsel. Acara musik dangdut sebenarnya lebih "menjadi inti" dari tradisi Gredoan karena bisa mengundang banyak penonton. 

Namun, esensialisme tersebut sah-sah saja karena mereka dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi punya kepentingan untuk menjadikannya kalender pariwisata yang diharapkan bisa menarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Bagi masyarakat Banyuputih, menggunakan nama Gredoan tentu "lebih layak jual". 

Mereka bisa mengajukan proposal ke sponsor untuk memberikan dana, sehingga iuran warga tidak terlalu banyak. Untuk kepentingan itulah, mereka terus-menerus melaksanakan tradisi Gredoan, meskipun mereka sendiri sudah semakin jarang membangun rumah berdinding bambu dan semakin jarang pula anak gadis yang mau bertukar nomor ponsel karena "cowok-cowok suka kasar." 

Sekali lagi, pertunjukan dangdut dengan suguhan lagu-lagu Banyuwangian dan penyanyi-penyanyi cantik-lah yang mengundang datangnya penonton, bukan lagi makna tradisi muludan ataupun perjodohan seperti berlangsung di masa lampau.

Dari pelaksanaan tradisi Gredoan, paling tidak, saya melihat adanya keinginan untuk melanggengkan ingatan kultural sebagai bentuk negosiasi identitas kultural di tengah-tengah modernitas yang dijalani masyarakat. Kepentingan untuk mengundang sponsor (kelompok pemodal) menjadikan proses pelanggengan tersebut berlangsung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun