Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi-Puisi dari Taman Nasional Baluran

27 Juli 2022   22:12 Diperbarui: 27 Juli 2022   22:18 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan senja di Baluran. Dok. penulis

SENJA DI BALURAN

Kalau mungkin menuliskan hasrat untuk bisikan angin laut, suara purba pepohonan dan rerumputan menunggu dalam catatan-catatan kecil ketika hidup di sini masih berjalan dalam sajak. Manusia-manusia memburu bahagia, menghadirkan tubuh dalam lembut cahaya senja, demi sebuah tanda: kebahagiaan adalah kehendak yang dirajut dalam rumus-rumus tak berkesudahan. 

Bersama jingga di lereng gunung, kata demi kata tak kuasa lagi menggenapkan makna yang menempuh perjalanan panjang, masa ke masa. Ini rindu dilipatgandakan dalam ngembara, menziarahi ruang hidup-ruang hidup yang diambrukkan atas nama kemajuan dan kebahagiaan. 

Seekor banteng menyusuri savannah. Dok. penulis
Seekor banteng menyusuri savannah. Dok. penulis

Di sini, seekor banteng masih saja memberikan bait-bait sajak bersama rindang sebatang pohon. Gunung-gunung mengawal cerita demi cerita dalam sujud di kejauhan yang begitu dekat. Sementara, dedaunan mendendangkan tembang bersama kehangatan, tak ada risau menyambut malam. 

Kalau mungkin menitipkan rindu kepada senja yang kita abadikan bersama harapan tak memaksa, biarkanlah lirih senandung dari dalam hutan terus melanjutkan cerita demi cerita yang membuat kita tersenyum demi sebuah prasasti batin: hidup di sini mesti berlanjut.

Baluran, 19 Juli 2022

Tengkorak kepala banteng di Baluran. Dok. penulis
Tengkorak kepala banteng di Baluran. Dok. penulis

KIDUNG KEPALA BANTENG

Segenap epos telah kami lalui, bersama pagi yang begitu memukau, bersama siang yang begitu hangat, bersama senja yang begitu ikhlas, bersama malam yang begitu damai. Tak ada tangis yang perlu dijaga pada setiap batas waktu karena kepastian demi kepastian bumi menuntun pada sebuah padang begitu tenang. 

Kami menyaksikan, masa demi masa, manusia mendamba keindahan semesta ketika lapis-lapis kejenuhan dari ruang-ruang gemerlap  di kota menuntut penutasan: berharap luruh segenap sedih, berharap musnah bertumpuk gelisah. Bukan itu. Bukan ribuan simulasi pada wajah dan senyum yang dipaksa bersama hamparan kata seolah begitu perkasa, rapuh sejatinya berkuasa. 

Tengkorak kepala banteng di Baluran. Dok. penulis
Tengkorak kepala banteng di Baluran. Dok. penulis

Kami mendengar, tahun demi tahun, orang-orang terhomat mengintip dari bilik-bilik perjanjian sembari berharap saudara-saudara kami punah di tengah kemarau panjang, di tengah kerakusan manusia-manusia serakah mengobarkan dongeng kesejahteraan. Bukan demi orang-orang miskin yang selalu saja diatasnamakan, tetapi istana megah untuk para pemburu yang selalu ingin tertawa dalam kemenangan atas semesta. 

Ini kidung kami yang dibawa semilir angin dan bintang-gumintang menuju nirwana. Kiranya, berjuta batin masih menghayati keindahan di tanah ini: bersama cinta yang menghancurkan kehendak untuk menghapus jejak dan kebahagiaan yang direkam dalam narasi panjang waktu yang masih terus bergerak. 

Baluran, 19 Juli 2022

Pemandangan senja di Taman Nasional Baluran. Dok. penulis
Pemandangan senja di Taman Nasional Baluran. Dok. penulis
UNTUK ROMANSA DI UJUNG BARAT

Bersama harum tanah perdikan yang menghidupkan bermacam kisah, sejumput debu aku pungut untuk menembangkan gending di ujung barat: di sini perjuangan adalah kesungguhan menatap gempita kehendak untuk mengubur sejarah panjang tentang kehidupan. Semoga di sana masih ada hangat pepuji untuk rindu yang perlu diceritakan kepada embun yang mencumbu debu. 

Pada sebuah masa ketika rintik gerimis adalah keniscayaan senja, kita akan bercengkrama tentang cinta yang begitu bersahaja, yang dipeluk tumpukan demi tumpukan daun dan ranting kering dari waktu ke waktu. Saat itulah kita tahu bahwa humus adalah keabadian yang selalu menumbuhkan harapan membuncah bersama matahari di ujung timur. 

Pohon di savannah Taman Nasional Baluran. Dok. penulis
Pohon di savannah Taman Nasional Baluran. Dok. penulis

Untuk sebuah romansa yang dikabarkan angin samudra, aku ingin mengajakmu bercengkrama bersama cangkir demi cangkir kopi yang diseduh untuk berjuta kata dalam bibir basahmu. Tak usah risau bersandar pada keyakinan, masih ada bahagia yang disimpan berjuta batang pohon untuk kita dan semua yang memaknai semesta sepenuh hati, seperti alunan nada lembut yang dipantulkan rambutmu yang terurai. 

Baluran, 19 Juli 2022

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun