Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pembabatan Hutan, Perkebunan Kolonial di Banyuwangi, dan Permasalahan Ekologis

30 Juli 2022   04:05 Diperbarui: 13 November 2022   18:29 1934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahan yang disiapkan untuk tanaman kopi di perkebunan Kalibaru. Foto dibuat sekira tahun 1929. 

Membicarakan krisis ekologis hari ini, kita tidak boleh mengabaikan proses panjang kolonialisme yang banyak mengubah lanskap wilayah jajahan melalui praktik pertanian dan perkebunan non-domestik dan pertambangan demi mememuhi hasrat kapitalistik manusia-manusia ekspansionis. 

Menggunakan logika kuasa yang diinvestasi dengan rasisme, penjajah menempatkan wilayah-wilayah baru yang cukup subur dan kaya sumberdaya mineral menjadi medan yang harus dieksploitasi dengan menggunakan tenaga manusia pribumi ataupun manusia yang didatangkan dari benua/negara lain sesuai dengan kehendak mereka.

Hutan belantara di lereng-lereng gunung di kawasan Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso pun tidak luput dari kehendak ekspansionis-kapitalistik mereka. Sejak 1870, sebagai wilayah frontier yang belum banyak dikelola dan masih jarang penduduknya, mulai diekspansi oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dan pertanian kolonial secara bergelombang (Nawiyanto, 2012: 81). 

Kawasan yang cukup subur karena proses alam dari humus dan abu letusan gunung cukup ideal untuk dijadikan wilayah perkebunan. Pembabatan hutan dilakukan untuk menjadikan kawasan hutan itu sebagai perkebunan kopi dan karet, dua komoditas yang laku keras di pasar internasional. 

Kedahsyatan hutan yang banyak disebut dengan konsep lisan  "alas gung liwang liwung", hutan belantara, berdasarkan kompleksitas isi hutan, dari bermacam pohon hingga semak, hewan liar hingga serangga.

Serta, hal-hal aneh yang seringkali dianggap terjadi di dalamnya, perlahan-lahan tidak berlaku bagi nalar modern manusia-manusia berbaju dam bercelana putih. Kalau perlu hewan penghuni hutan seperti harimau, rusa, dan banteng diburu.

Hutan belantara bagi mereka adalah kawasan geografis yang harus ditundukkan dengan orientasi dan praktik modern berbasis ritme percepatan Revolusi Industri. 

Maka, batang-batang besar pun dirubuhkan, dipotong-potong. Semak-semak pun dibersihkan. Bibit kopi dan karet pun disemaikan untuk kemudian ditanam dilahan bekas hutan. 

Kawasan pemukiman pun disiapkan untuk pihak manajemen perusahaan dan buruh. Logika dan formula inilah yang perlahan tapi pasti mengoyak dan melukai kekuatan dan karakteristik hutan di kawasan Karesidenan Besoeki.

Menelisik foto-foto dari era 1910-an hingga 1930-an yang tersedia di Digital Collection, Leiden University Libraries, kita  bisa mengetahui bagaimana subjek rasional Eropa secara rakus membuka belantara di kawasan Kalibaru dan kawasan selatan Banjoewangi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun