Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Satir Normalisasi Korupsi dalam Monolog "Koruptor Budiman"

16 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:45 6170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(KOMPAS.com/LAKSONO HARI W) 

Sebelum Reformasi 1998, sosok perempuan pelaku teater yang saya kagumi adalah Ratna Sarumpaet. Kedatangannya pada tahun 1997 masih melekat dalam ingatan saya. Keberaniannya menggugat ketidakadilan yang dialami kaum buruh dan kaum miskin melalui monolog Marsinah Menggugat di STAIN Jember menjadi inspirasi yang luar biasa untuk meyakini proses kultural dalam teater sebagai bentuk perjuangan melawan kedzaliman penguasa Orde Baru. 

Monolog politik yang disuguhkan Ratna mampu menumbuhkan keyakinan bahwa berteater dan berkebudayaan tidak bisa menegasikan persoalan penindasan, ketidakadilan, dan kekerasan yang dilakukan rezim otoriter. Meskipun tanpa harus berafiliasi ke partai atau kelompok ideologis tertentu, para penggiat teater kampus memiliki kesadaran etis untuk terus menyuarakan permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Dua puluh dua tahun setelah pertunjukan Marsinah Menggugat, tepatnya 5 November 2019, saya kembali menikmati monolog politik berjudul  Koruptor Budiman yang dipersembahkan oleh Teater Pandawa SMAN 5 Jember. Koruptor Budiman merupakan satir tentang masih maraknya kasus korupsi di era pasca Reformasi. 

Melalui tulisan ini saya akan mengungkap konstruksi wacana terkait korupsi. Tidak lupa pembacaan kontekstual akan melengkapi telaah kritis terhadap konstruksi diskursif dalam teks pertunjukan. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah analisis terkait posisi ideologis pertunjukan monolog politik ini.

ROBIN HOOD-ISME UNTUK PARA KORUPTOR 

Seorang perempuan muda berpakaian hitam dan berjilbab merah marun duduk di tengah panggung. Lampu temaram perlahan-lahan menjadi agak terang. Replika Burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia terpasang di sebelah kanan si perempuan muda. Setelah beberapa menit membiarkan tubuh dan pikirannya terhubung dengan atmosfer panggung sederhana di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Jember (UNEJ), ia pun mulai mengalirkan ungkapan demi ungkapan secara lantang. Ia adalah seorang koruptor yang mendatangi kantor pengadilan, meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka.

''Tolong tangkap saya... Saya ingin jadi koruptor yang baik dan benar .... Saya ingin memberi contoh kepada rekan-rekan koruptor lain, tak baik melarikan diri. Lebih baik duduk tenang di pengadilan. Kalau pingin sembunyi, bukankah persembunyian paling aman bagi koruptor justru ada di pengadilan. Kita nggak bakalan diperlakukan macam maling ayam. Paling ditanyai sedikit-sedikit basa-basi minta bagian hasil korupsi. Tak ada ruginya kalau kita berbagai rezeki sama hakim jaksa polisi. Anggap saja zakat buat mereka. Toh itu juga bukan uang kita.''

Tidak ada beban sama sekali ketika si koruptor melontarkan omongan itu. Dengan sadar ia meyakinkan banyak petugas pengadilan bahwa ia adalah "koruptor yang baik dan benar". Apakah ada koruptor seperti si perempuan yang belum dijadikan tersangka alias belum ada proses penyelidikan di KPK atau lembaga penegak hukum lainnya atau belum dinyatakan buron mau dengan sukarela menyerahkan diri? Tentu tidak ada. 

Ilustrasi kepala daerah(TOTO S) via Kompas.com  
Ilustrasi kepala daerah(TOTO S) via Kompas.com  

Apa yang kemudian menjadi reasoning adalah bahwa pengadilan merupakan "persembunyian paling aman". Sebuah sindiran keras ia lontarkan tanpa beban, bahkan dengan senyum "ngece" karena para penegak hukum melihat koruptor sebagai 'juragan' atau 'orang kaya' yang memiliki harta berlimpah, setidaknya terhitung "milyar". Wajar kalau ia mengatakan tidak rugi kalau harus "berbagi rezeki" dengan hakim, jaksa, dan polisi. Yang lebih menohok, ia menganggap uang yang diberikan kepada penegak hukum sebagai "zakat", sebuah ajaran suci dalam ajaran agama Islam.

Tentu saja penulis naskah ini tidak asal menulis teks ejekan satiris yang cukup telanjang. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, bahwa proses penegakan hukum masih belum bersih dan masih belum bisa berjalan dengan benar sepenuhnya. Entah sudah berapa kasus suap dan korupsi yang melibatkan penegak hukum. Entah sudah berapa milyar uang negara digunakan untuk acara sosialisasi atau kampanye pencegahan dan pemberantasan KKN. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun