Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Lokal dalam Film: Kemungkinan Pengembangan di Daerah

9 Mei 2022   23:10 Diperbarui: 9 Mei 2022   23:11 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan jati meranggas di Lamongan selatan. Dokumentasi pribadi

LAYAR PEMBUKA

Dalam Pasal 3 UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dijelaskan bahwa tujuan perfilman di Indonesia adalah terbinanya akhlak mulia, terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan, meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembangnya dan lestarinya budaya bangsa, dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.  

Adapun fungsi perfilman (Pasal 4) adalah budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif, dan ekonomi. Kesemua tujuan dan fungsi perfilman Indonesia tersebut mengerucut kepada tiga wacana dominan, yakni edukatif, kultural, dan ekonomi-kreatif.  Ketiga wacana tersebut menegaskan cara pandang ideal rezim negara dalam memosisikan film dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Kalau dilacak lagi, cara berpikir demikian sebenarnya sudah menjadi konsensus kultural di tingkat nasional, dari era kepemimpinan Soekarno, Soeharto, hingga era Reformasi. Hanya saja pada masing-masing periode memiliki kekhususan yang disebabkan kondisi ekonomi dan politik, orientasi ekonomi dan ideologis sienas, dan kepentingan yang dinegosiasikan oleh rezim negara di tengah-tengah industri perfilman.

Masalahnya adalah apakah kerangka ideal tersebut mampu membawa pengaruh konstruktif bagi perkembangan perfilman dan pengembangan budaya lokal yang begitu banyak ragamnya di Indonesia? Kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan perfilman yang ditelorkan oleh rezim negara pada masing-masing zaman cenderung memunculkan ketidakmenentuan dalam industri perfilman. 

Tingginya harapan normatif dari rezim negara terhadap film yang mampu menjadi alat edukatif dan melestarikan budaya bangsa sekaligus mampu menumbuhkan ekonomi kreatif, senyatanya tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang konstruktif, sehingga insan perfilman merasa dirugikan. 

Aparatus perfilman sebagai representasi negara juga sering tidak konsisten dalam mendefinisikan budaya bangsa seperti apa layak dihadirkan dalam narasi film, sehingga, pada suatu saat, mereka bisa memotong-habis adegan-adegan (yang dianggap) erotis, tetapi di saat yang lain, mereka melososkan film-film yang dari judulnya saja sudah mengandung unsur pornografi. 

Sementara, para sineas yang ingin mendapatkan keuntungan komersil serta menawarkan wacana dan pengetahuan kultural berbasis konteks sosial jelas-jelas merasa dirugikan oleh ketatnya sensor atas nama kode-kode kultural, moral, dan agama. Artinya, tegangan diskursif antara hasrat kebebasan sineas untuk berkarya dan harapan normatif rezim negara akan berimplikasi kepada ketidaksamaan perspektif dalam memosisikan budaya bangsa seperti apa yang harus direpresentasikan melalui narasi film (Setiawan, 2008).

Berangkat dari kenyataan di atas, ketika berpikir tentang kemungkinan pengembangan budaya lokal melalui film di daerah, saya sempat bingung karena dikepung beberapa pertanyaan berikut: 

(a) bagaimana mungkin pemerintah provinsi daerah akan melestarikan budaya lokal melalui pengembangan perfilman ketika secara nasional kebijakan kebudayaan dan perfilman masih memunculkan banyak tafsir dan konflik kepentingan?; (b) bagaimana mungkin mengembangkan perfilman ketika peta jalan dan kebijakan tentang perfilman belum dibuat?; (c) jangan-jangan bermacam kebijakan yang akan dicetuskan tidak aplikatif di lapangan atau, bahkan, mungkin tidak memuaskan para pelakunya? 

Pertanyaan pertanyaan tersebut menggiring saya pada sebuah kilas-balik bahwa selama ini memang banyak kebijakan yang sudah direkomendasikan melalui bermacam forum seminar dan rapat koordinasi. Namun, sebagaimana banyak rekomendasi yang sudah ada, nasib mereka mungkin hanya menjadi nyanyian nyaring tanpa gema berarti. Kondisi ini, dalam asumsi saya, dipengaruhi oleh ketidakjelasan paradigma dalam memandang budaya lokal  serta kemungkinan pengembangannya melalui perfilman.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, dalam tulisan ini saya akan memaparkan beberapa gagasan paradigmatik sebagai fondasi bagi arapat terkait dan para sineas untuk membaca persoalan pengembangan budaya lokal melalui perfilman daerah, khususnya di Jawa Timur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun