Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Makna Heroisme dalam Gandrung Banyuwangi

1 Desember 2021   09:22 Diperbarui: 1 Desember 2021   09:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan gandrung zaman kolonial. Dok. Collectie Tropenmuseum Belanda

Untuk mengkomunikasikan kesadaran dan semangat perjuangan di antara banyak komunitas Using yang hidup secara terpencar di wilayah-wilayah pedalaman Banyuwangi, para seniman gandrung melakukan pertunjukan keliling. Walaupun tulisan asing, khususnya tulisan Scholte, Gandroeng van Banjoewangi, tidak dilengkapi data-data akurat, tetapi para budayawan tetap menjadikannya dasar untuk melegitimasi analisis tekstual yang mereka lakukan (Hasan Basri, 2009: 16). 

Analisis tekstual yang dilakukan para budayawan lebih didasari kepentingan politis untuk memformulasi dan memperkuat kesadaran akan identitas yang dimiliki oleh komunitas Using dan diharapkan bisa memunculkan kesadaran serupa bagi komunitas-komunitas etnis lain di Banyuwangi. 

Apa yang tidak bisa dipungkiri adalah campur-tangan rezim negara dalam mengkonstruksi makna-makna positif yang diusung kesenian gandrung. Pada era 1970-an ketika proyek diskursif ini dicanangkan, negara memang tengah mensponsori banyak kegiatan kultural yang menegaskan identitas sebuah daerah sebagai wilayah yang berkontribusi bagi kebudayaan nasional. 

Mobilisasi wacana perjuangan juga berlangsung dalam kesenian tradisional lain, seperti ludruk yang diarahkan oleh aparatus militer di wilayah kebudayaan arek dengan lakon-lakon yang menceritakan perlawanan terhadap kolonial, khususnya penjajah Belanda (Setiawan & Sutarto, 2014). 

Artinya, melalui tafsir tekstual yang dikaitkan dengan kesadaran kontekstual perkembangan gandrung, para budayawan sebenarnya tidak hanya berada dalam posisi menemukan makna dan wacana gandrung sebagai alat perjuangan, sekaligus meng-investasi kesenian ini untuk membangkitkan kesadaran kolektif komunitas Using dalam arahan rezim negara militeristik. 

Seorang serdadu Belanda menari bersama dua gandrung. Foto: Koleksi Online Mariniers Museum
Seorang serdadu Belanda menari bersama dua gandrung. Foto: Koleksi Online Mariniers Museum
Apa yang menarik diperbincangkan lebih lanjut adalah betapa usaha untuk meng-invensi dan meng-investasi kesenian gandrung dalam wacana-wacana heroisme di masa kolonial berbenturan dengan fungsi hiburan seni tari-musikal berbahasa Using ini yang sudah berlangsung sejak lama. Dua foto di atas, paling tidak, memberikan informasi bahwa pada masa kolonial, gandrung sudah menjadi seni hiburan/tontonan yang ditujukan kepada beragam kalangan; dari warga desa hingga tentara Belanda. 

Kita bisa menafsir bahwa para seniman gandrung pada masa itu sudah berorientasi pada kebutuhan untuk ditonton yang tentu saja akan menghasilkan keuntungan ekonomis. Tidak peduli bahwa yang menjadi pemajunya adalah para tentara marinir Belanda. Bagi para gandrung dan musisi, mencari rezeki ekonomi tentu tidak  harus melihat posisi sosial dan politik para penikmat dan pemaju. Jadi, makna heroisme dalam ekspresi gerak maupun puitik tembang gandrung bisa diperdebatkan terkait pijakan historisnya.    

Kalau ditilik lebih jauh lagi, kesenian tari model ini juga sudah berkembang di Keraton Majapahit, digelar pada pagelaran pasca-panen. Claire Holt (2000:14), menurutkan:

Kita memiliki kesaksian dari kehadiran seorang gadis yang sangat mirip dengan teledhek pesinden di istana Majapahit di Jawa Timur dari abad ke-14. Penampilannya digambarkan dalam dua stanza dari Nagarakrtagama. Selama tujuh hari perayaan yang diselenggarakan setelah panen untuk menyanjung kebesaran raja dan istananya sebagai pusat dari kemakmuran negara, seorang penari wanita yang disebut I Angin tampil di atas arena dengan diiringi oleh seorang atau dua orang buyut.

Juru I Angin menyanyi ketika ia menari, rupanya dengan nada humor, karena kata-katanya serta tingkahnya menyebabkan ketawa. Dalam nyanyiannya ia menyinggung untuk memilih pasangan. Setelah tariannya selesai, Juru I Angin dilimpahi pemberian-pemberian busana, dan setelah itu diundang pada 'Kehadiran Raja' untuk minum minuman keras menemani beberapa orang terkemuka.

Kalau penjelasan dalam Negarakrtagama terkait Juru I Angin kita posisikan sebagai wacana, maka tari yang ia pertunjukkan dikonstruksi sebagai karya yang berada pada batas antara yang bersifat ritual dan profan. Sebagai kesenian yang terintegrasi dengan "tujuh hari perayaan" pasca-panen, kesenian ini menjadi ekspresi yang mengiringi ritual yang penuh kegembiraan. 

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari penyanjungan terhadap kebesaran raja sebagai titisan dewa yang diyakini memberikan kemakmuran bagi penduduk Majapahit. Namun, kitab ini juga tidak mengingkari adanya praktik profan berupa undangan raja kepada Juru I Angin untuk menikmati minuman beralkohol bersama para pembesar istana. 

Tradisi menenggak minuman beralkohol adalah tradisi yang biasa pada waktu itu. Meskipun demikian, posisi sentral Juru I Angin dalam perayaan tersebut oleh Pigeud ditafsir sebagai kehadiran makna kesakralan/kesuburan (Holt, 2000: 144). Ia mungkin diposisikan sebagai seorang dewi setempat yang dekat kepada Dewi Angin-Angin. Ia bisa jadi menjadi lambang dari "angin musim barat" yang mendatangkan hujan, sehingga dimaknai sebagai dewi kesuburan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun