Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sosial, Politik Post-Truth, dan Tantangan Kebangsaan

3 November 2021   11:16 Diperbarui: 3 November 2021   11:24 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Seattletimes.com

Apa yang harus diperhatikan adalah kebenaran itu bersifat dinamis dan selalu berada dalam ruang kontestasi; selalu dilawan dan ditafsir secara berbeda ketika berada dalam kehidupan masyarakat. Kebenaran politik yang dimapankan selama ini toh juga penuh kepentingan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Itulah mengapa lahir gerakan politik populis yang menggunakan media baru seperti media online dan media sosial untuk mengampanyekan kepentingan mereka, meskipun harus menggunakan berita palsu atau mobilisasi berita yang mengaduk-aduk emosi publik. 

Memang benar, bahwa kehadiran post-truth melalui bisa dibaca sebagai semakin semaraknya proses berdemokrasi dan bisa dikendalikan dengan munculnya kelompok mapan melalui media-media baru. Namun, apa yang harus dipikirkan adalah tingkat literasi masyarakat yang belum bisa sepenuhnya membaca berita atau informasi di media sosial secara kritis, sehingga seringkali malah mem-viral-kan apalagi kalau sesuai dengan pandangan politik mereka. 

Apa yang perlu dicermati lebih jauh lagi adalah bahaya berkelanjutan yang akan terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan antarbangsa ketika kebenaran sudah bukan lagi menjadi orientasi bersama. Catatan "Editorial" The Star, 27 Desember 2016, menarik untuk dipahami. Hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi yang memroduki kebenaran merupakan "bencana bagi sistem demokrasi." Memang, fakta saja tidak cukup. Dalam hal perubahan iklim, misalnya, tidak ada kebijakan yang secara otomatis dibuat. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita mengimbangkan kebutuhan untuk hidup dengan generasi masa depan atau mengutamakan peningkatan ekonomi jangka pendek yang melawan fakta konsekuensi jangka-panjang degradasi lingkungan bergantung sepenuhnya di mana kita menempatkan prioritas. Fakta harus ditafsir melalui lensa moral. 

Tanpa fakta, tidak ada debat demokratis. Jika kita merasa tidak bisa percaya apa yang dikatakan 98% ilmuwan tentang pemanasan global, kita akan rentan terhadap pengaruh demagog yang akan melawan semua bukti dan alasan perubahan iklim. Kondisi itu tentu sangat mengkhawatirkan karena demokrasi dan ilmu pengetahuan akan mengalami kemunduran secara global. Yang lebih mengerikan adalah, seperti apa yang dikatakan Hannah Arendt, "subjek ideal hukum totalitarian bukanlah Nazi yang meyakinkan atau komunis yang berdedikasi, tetapi orang-orang yang dalam pikirannya perbedaan antara fakta dan fiksi, benar dan salah, tidak lagi ada." 

Budaya politik post-truth inilah yang tengah dan akan menjadi tantangan desain kebangsaan Indonesia, ketika jutaan warga semakin terbiasa dengan media sosial melalui android yang semakin terjangkau harganya. Banyak berita yang beredar di media online dan media sosial selama beberapa tahun terakhir memiliki kecenderungan untuk menggunakan pola-pola post-truth dan cenderung menggiring publik ke dalam permainan isu dan desas-desus yang mengabaikan kebenaran-kebenaran terkait permasalahan-permasalahan tertentu. Kehadiran dan ketenaran politik post-truth yang dimanfaatkan oleh individu-individu atau pihak-pihak tertentu bisa memunculkan ketidaksehatan kehidupan berbangsa yang berujung pada ketidakmenentuan sistem bernegara. 

Politik Post-Truth dan Tantangan kebangsaan 

30 September 2017 belum juga tiba ketika saya menulis tulisan ini . Namun, berita seputar kekejaman PKI (peristiwa 65 dan Madiun 48) di bermacam media online tanah air serta bombardir status medsos--facebook, twitter, instagram, path, grup WA, dan lain-lain--yang meminta masyarakat, khususnya umat Islam, mewaspadai kebangkitan partai berlambang palu arit ini dengan beragam justifikasi naratif menciptakan menimbulkan suasana yang seolah-olah genting. 

Yang sangat khas dari booming PKI di media sosial dan media daring adalah pernyataan dan berita terkait bahaya laten komunis, kebangkitan komunis, 60 juta pengikut PKI, kekejian PKI pada para jendral, komunis musuh umat Islam, komunis tidak mengakui Pancasila, kekejaman PKI di peristiwa Madiun, rezim Jokowi dipengaruhi kekuatan komunis, dan yang lain. Anehnya mobilisasi wacana tersebut dilakukan ketika TAP MPRS No. 25 1966 tentang pelarangan penyebaran ideologi komunisme di Indonesia belum dicabut, sehingga kalaupun ada kebenaran informasi tentang kebangkitan PKI semestinya aparat kepolisian dan militer bisa langsung menindak karena mereka memiliki kelengkapan struktur sampai tingkat kecamatan. 

Ironisnya, ada pihak-pihak purnawirawan tentara (AD) yang ikut menyebarluaskan informasi seputar bahaya bangkitnya PKI di media sosial. Tentu saja, kita bisa melihat adanya target khusus dari penyebarluasan informasi tersebut, seperti untuk meningkatkan sentimen emosional pengguna media sosial dan menjadikan mereka abai terhadap fakta-fakta lain terkait peristiwa 65, misalnya pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan, atau yang dituduh terlibat PKI dan siapa dalang itu semua. 

Kemampuan mengaduk-aduk anggota dalam sebuah grup WA, misalnya, dengan sentimen kebencian yang terus dipelihara sejak rezim Orde Baru hingga saat ini tentang kekejaman PKI tanpa menghadirkan wacana atau pengetahuan pembanding, mendorong berkembangnya kesepakatan terhadap kebenaran yang melampaui kebenaran itu sendiri, sebuah post-truth, karena data-data historis terbaru tentang tragedi 1965 tidak lagi dianggap penting. Bahkan data-data dari lapangan terkait pembunuhan massal 65 dan penderitaan keluarga korban dianggap tidak relevan. Dengan mobilisasi wacana ke-PKI-an yang membabi-buta menjadikan hasrat untuk berpengetahuan secara rasional terabaikan. 

Yang saya maksudkan hasrat untuk berpengatuan secara rasional adalah bahwa semestinya bangsa ini menumbuhkan keinginan untuk membuka "sisi gelap" sejarah 65 yang berdasarkan temuan analisis yang lebih beragam, bukan hanya mengandalkan pengaburan wacana historis sebagaimana dilakukan rezim Orba yang menjadikan fakta pembantaian massa tidak diajarkan kepada para pewaris Republik ini.  Berapa jumlah korban sebenarnya dari pembantaian tersebut, sampai sekarang masih simpang siur (Tempo, 18 April 2016), sehingga secara akademis perlu untuk ditemukan kejelasannya agar masyarakat tahu secara lebih komprehensif tragedi ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun