Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Soto dan Pecel Lele yang Mengubah Wajah Dusun di Lamongan

1 November 2021   10:15 Diperbarui: 4 November 2021   04:47 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Warung tenda Soto Lamongan. (Foto: KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia)

Apa yang cukup membanggakan adalah kerja keras para penjual soto Lamongan di Jakarta, Yogyakarta, Bogor, Semarang, dan beberapa kota besar lainnya di Jawa maupun luar Jawa membawa dampak positif. 

Mayoritas pedagang soto mendapatkan rezeki ekonomi yang melimpah. Dari jam buka habis Maghrib hingga dini hari, mereka bisa mengumpulkan penghasilan harian yang cukup lumayan. Kalau lagi ramai, ada pedagang yang bisa menghasilkan keuntungan bersih Rp. 500.000 hingga Rp. 1.000.000.

Salah satu etos kerja yang cukup baik adalah memperbanyak warung ketika penjual soto dan pecel lele memiliki cukup modal. 

Di warung-warung baru mereka mempekerjakan anak-anak muda yang tidak melanjutkan sekolah SMA atau kuliah. Biasanya mereka akan dilatih terlebih dahulu sebelum disuruh mengelola warung secara mandiri.

Keberhasilan ekonomi para pedagang soto dan pecel lele Lamongan ini ikut mengubah wajah banyak dusun di Lamongan. Di dusun tempat orang tua saya tinggal, banyak rumah tembok bergaya kota dibangun. Rumah-rumah itu cukup megah dan luas. 

Kalau dihitung secara rupiah, pastilah habis ratusan juta. Kemegahan rumah-rumah tersebut merupakan bukti fisik betapa usaha berjualan soto dan pecel lele bisa benar-benar mensejahterakan para pedagangnya. 

Meskipun banyak dihuni orang tua para pedagang soto karena mereka biasanya pulang waktu Lebaran atau hari-hari besar nasional, rumah-rumah tersebut menandakan keberhasilan secara ekonomi dari kaum muda yang dulunya berasal dari kelas bawah.

Pada setiap Lebaran, di rumah-rumah tersebut terparkir mobil-mobil buatan Jepang, seperti Inova Reborn, Yaris, Avanza, Jazz, BRV, HRV, Mobilio, CRV, Xpander, dan yang lain. 

Kalau dulu kawan-kawan saya hanya bisa berkhayal memiliki mobil sebelum tidur di kandang sapi, saat ini, khayalan itu menjadi kenyataan. Bersama-sama dengan rumah megah, keberadaan mobil tersebut menjadi penanda kesuksesan dan kemakmuran hidup para penjual soto dan pecel lele.

Lebih dari itu, keberhasilan dan kekayaan para pedagang soto juga mengubah struktur kelas sosial dalam masyarakat. Kalau kelas sosial ditentukan secara ekonomi, maka, struktur masa lalu yang berdasarkan kepemilikan tanah mulai berubah. 

Para pemilik tanah yang dulunya merupakan orang kaya dengan posisi elit, sekarang secara ekonomis kalah kaya dibandingkan para penjual soto. Bahkan, para penjual soto banyak membeli sawah dari orang-orang yang dulu kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun