Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga untuk Siapa: Multikulturalisme, Politisasi Identitas, dan Narasi Anti-Kehidupan

31 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 31 Oktober 2021   09:13 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Solidaritas Bom Paris 2015, Dok. bbc.com 

Bahayanya, tiga paham (inklusivisme, pluralisme agama, dan multikulturalisme) itu adalah semua menolak Islam yang menegaskan hanya Islamlah yang benar, yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang pemeluknya yang beriman dan beramal shalih ikhlas untuk Allah maka dijanjikan surga oleh Allah Ta'ala...Ketika yang dibantah itu hanya satu bagian dari hukum Islam yakni haramnya bangkai saja ternyata bila diikuti maka menjadi orang-orang musyrik; apalagi kalau yang dibantah itu seluruh Islam, disamakan dengan agama lain, maka jelas-jelas lebih nyata jadi orang musyrik. Dan itulah yang dilakukan oleh paham inklusivisame, pluralisme agama, dan multikulturalisme. Jadi tidak lain hanyalah kemusyrikan baru yang sangat dahsyat, namun karena istilahnya bukan dari Islam, maka Umat Islam banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari bahwa inklusivisme, pluralisme agama, dan mukltikulturalisme itu adalah kemusyrikan baru (Jaiz, 2013). 

Berawal dari Perbedaan

Penghormatan akan perbedaan dalam keberagaman kultural di Indonesia, bahkan juga di ranah internasional, rasa-rasanya masih menjadi isu dominan pada masa-masa yang akan datang, mengingat masih seringnya terjadi permasalahan dan konflik yang disebabkan oleh kedua faktor tersebut. Meskipun pasca konflik berdarah dalam kerusuhan rasial Mei 1998, perang di kota-kota kecil seperti Sambas, Sampit, Ambon, dan Poso sebagai akibat perselisihan etnis dan agama yang dimainkan oleh elit-elit politik (van Klinken 2006, 2007; Nordholt & van Klinken 2007) serta bom Bali di sebagian besar wilayah Indonesia sudah tidak ada lagi tragedi berdarah berskala besar, hal itu tidak bisa dijadikan tolak ukur bahwa kekerasan berbasis mobilisasi perbedaan etnis dan agama sudah benar-benar hilang dari bumi Indonesia. 

Dengan mudah kita menjumpai pihak-pihak tertentu dari kelompok agama mayoritas yang memosisikan prinsip keberagaman dan perbedaan, baik terkait internal maupun eksternal, sebagai musuh yang mengancam eksistensi agama, bahkan, seperti dalam kutipan di atas, diposisikan sebagai kemusyrikan baru. Kegagalan dalam memahami dan menerapkan prinsip penghormatan dan pengakuan akan perbedaan etnis dan agama menjadikan ideologi "kebhinekaan bangsa" atau 'saudara' kontemporernya yang diimpor dari terminologi liberal, multikulturalisme, terus-menerus mendapatkan ancaman serius. Pengeboman yang dilakukan oleh beberapa 'pengantin' di Jakarta, kasus pengusiran warga Syi'ah di Sampang dari tanah kelahiran mereka, penutupan gereja Jasmin di Bogor, penertiban masjid di Papua, dan penyerangan warga Ahmadiyah di beberapa wilayah Indonesia menjadi penanda bahwa perbedaan agama dan budaya merupakan api dalam sekam yang setiap saat bisa menjadi sumber tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan. 

Fieschi & Johnson (2013: 88) mengidentifikasi empat pilar multikulturalisme. Pertama, bahwasanya manusia “secara kultural tertanam”, dalam artian bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam jagat yang terstruktur secara kultural dan mengorganisir diri mereka dan relasi sosjial berdasarkan sistem makna dan penandaan secara kultural. Kedua, bahwa perbedaan budaya merepresentasikan sistem makna dan visi kehidupan yang berbeda. Ketiga, bahwa setiap budaya secara internal bersifat plural dan merefleksikan percakapan berlanjut antara tradisi dan aliran pemikiran yang berbeda. Keempat, politik pengakuan di mana semua kelompok etnis ataupun agama harus dihormati dan diakui serta diakomodasi dalam sistem sehingga akan memunculkan kesetiaan terhadap negara. Negara-negara maju, meskipun bukan tanpa masalah, menempatkan multikulturalisme sebagai konsep yang tepat untuk mengelola ragam ras, etnis, dan agama para warga.

Dalam bentuknya yang paling mutakhir, kegagalan dalam memahami keberagaman yang diperkuat dengan bumbu permusuhan antaragama, perang suci, benturan antarperadaban, dan perbedaan kelas ekonomi telah melahirkan terorisme yang mengerikan melalui penyerangan berorientasi membunuh dan bom bunuh diri di mana keduanya diarahkan kepada warga sipil. Penyerangan yang diikuti dengan pembunuhan di Inggris, Madrid, Perancis, dan Jerman menegaskan betapa jaminan legal-formal yang diberikan oleh pemerintah negara induk kepada para imigran masih menyisakan celah bagi penyemaian doktrin-doktrin radikal berbasis agama yang menumbuhkan homegrown terrorism yang diarahkan untuk aktivitas-aktivitas anti-kemanusiaan. 

Klausen (2016) menjelaskan homegrown terrorism merupakan aktivitas teror yang dilakukan oleh warga pendatang yang terpapar radikalisme berorientasi pembunuhan serta biasanya terinspirasi atau terhubung dengan jaringan teror internasional seperti Al Qaeda dan ISIS. Para pelakunya, biasanya, adalah kaum muda yang tinggal di negara-negara induk seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Kanada, Jerman, Australia, dan yang lain. Mayoritas terpapar radikalisme setelah bergabung dengan kelompok radikal yang berbaiat kepada atau terinspirasi organisasi teroris internasional.

Dalam kasus Indonesia, kita juga dibuat sedih dengan kasus-kasus pengeboman atasnama agama. Kasus bom Surabaya menjadi bukti betapa terorisme telah menjadikan kita bingung untuk membuat penjelasan masuk akal, bagaimana mungkin orang tua mau meledakkan dan membunuh anak-anak mereka sendiri atas nama agama. Sasaran yang menjadikan tempat ibadah dan umat agama lain sebagai sasaran juga menjadi penanda betapa berdarahnya ideologi yang disuntikkan kepada mereka oleh pimpinan dalam jaringan teroris. Lalu, apakah masih penting manusia beragama kalau hanya menghasilkan perang, pembunuhan, dan genosida rasa welas asih dalam kehidupan? 

Saya tidak menutup mata atas beberapa asumsi konspiratif bahwa pada awalnya sponsor dan donatur gerakan-gerakan terorisme adalah negara adikuasa, Amerika Serikat, dengan tujuan menciptakan dan mem-bisnis-kan kekacauan regional berdimensi internasional demi mengeruk keuntungan ekonomi. Namun, kita juga tidak boleh mengingkari bahwa lepas dari kendali Amerika Serikat, para anggota gerakan teroris tersebut terus memobilisasi isu perbedaan dan pembelaan agama untuk melegitimasi semua tindakan terorisme di muka bumi. 

Berangkat dari beberapa deskripsi di atas, saya ingin sedikit mengelaborasi persoalan perbedaan dalam keberagaman ini, baik itu terkait isu agama maupun budaya di ranah nasional Indonesia dan internasional. Saya berasumsi bahwa permasalahan-permasalahan tersebut tidak bisa dilepaskan dari "celah-celah dekonstruktif dan destruktif" yang dibawa bersama-sama konsep ideal multikulturalisme. Untuk itulah, saya akan mengawali tulisan ini dari kajian geneaologis terkait munculnya konsep dan keutamaan politik penghormatan dan pengakuan akan perbedaan sebagai basis multikulturalisme di negara-negara maju seperti Amerika Serikat serta kelemahan-kelemahan diskursif dan operasionalnya yang memberikan celah bagi menguatnya kembali permasalahan sosio-kultural. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun