Di kamarnya yang berantakan, selepas bangun tidur, Ivan duduk sambil menghisap sebatang rokok ditemani secangkir kopi. Beberapa temannya mulai berangkat ke kampusnya masing-masing. Beberapa lembar kertas berisi coretan konsep skripsi memenuhi lantai kamar. Puluhan buku berserak tak teratur di atas kasur. Bersama kepulan asap yang bergerak di atas kepalanya, ia memikirkan-kembali kenangan beberapa hari lalu ketika bersama Nandi di Ijen. Sambil tersenyum ia bergumam dalam batin.
"Sebenarnya, apa aku jatuh cinta kepada Dee? Ah, mungkin itu hanya kisah sesaat yang tidak harus ditindaklanjuti. Tapi, kenapa tidak? Bukankah dia sudah putus dari Rudy dan aku sudah putus dari Dev? Tidak....tidak, bukankah dia sahabatku? Tapi, apakah sepasang sahabat dilarang menjadi sepasang kekasih? Ah, sudahlah, biarkan mengalir, tidak harus terburu-buru".
Sedang asyik memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, kenangan bersama Dev kembali hadir di batinnya. Ya, Â lelaki manapun, kalau mereka benar-benar serius mencintai kekasihnya, pasti akan sulit menghapus memori-memori yang pernah tercipta. Omong kosong kalau ada lelaki yang bilang bisa dengan cepat melupakan mantan kekasihnya. Kalau memang ada, patut dipertanyakan keseriusannya. Bagi Ivan, Dev adalah cahaya; cahaya yang membutuhkan perjuangan panjang untuk menjaganya, meskipun akhirnya ia gagal.
Ketika batang rokok kelima habis, berakhir pula kebiasaan Ivan memutar-kembali cerita bersama Dev. Setiap kali rasa rindu membuncah di batinnya, seperti pagi ini, ia selalu mengingat peristiwa-peristiwa itu secara terperinci yang ia catat di buku harian dan ia beri judul "Sebuah Janji untuk Mama" (https://www.kompasiana.com/dekajekita/5e5a1f00097f363b7d3f3a42/sebuah-janji-untuk-mama?page=all). Dari situlah ia bisa sedikit lega, meskipun semakin menyulitkannya keluar dari bayang-bayang Yuni Devi Susanti.
"Mungkin, Sang Penghidup menghendakiku untuk tidak melupakannya, paling tidak, sampai aku menemukan penggantinya. Dev mungkin hanya masa lampau, tetapi masa lampau itu ada, memang untuk diingat, meskipun aku tak mungkin lagi menghadirkan masa lampau itu, kini."
Begitulah keyakinan yang selalu ia sampaikan ketika teman-teman kosnya mengingatkan tentang kebiasaanya itu. Ia meyakini bahwa  yang abadi hanya memori. Dan, itu semua memang sudah sepatutnya dijaga, meskipun ia sendiri tidak tahu sampai kapan kuat menjaganya.
Kedatangan Aulia yang tiba-tiba membuatnya kaget. Perempuan itu habis menyelesaikan beberapa urusan administratif sebagai calon istri tentara di Kostrad. Ia sendirian ke Kostrad karena suaminya sedang ada latihan di Situbondo. Wajahnya tampak lelah di tengah-tengah panas yang menyengat siang ini. Setelah berbasa-basi, saling menanyakan kabar, Aulia memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sementara, Ivan keluar membeli es degan. Sekembalinya dengan dua plastik es degan, ia menemui Aulia yang sudah tertidur tanpa jilbab. Hemm, ingatannya kembali pada percumbuan di hutan jati yang begitu bergairah. Tapi, melihat betapa lelap tidurnya, lelaki itu memilih merapikan beberapa buku yang berserak.
"Mas, jam berapa, ya?" tanya Aulia sambil mengucek kedua matanya.
"Eh, dah bangun, Ay. Ini baru jam 1 kok. Ini es degannya, keburu ndak dingin."
Setelah merapikan rambut, Aulia menikmati es degan, minuman kesukaannya yang selalu mengingatkannya pada para blandong di hutan jati. Tidak lupa ia  mengeluarkan sebuah undangan pernikahan yang pelaksanaannya tinggal hitungan hari.
"Hemmm, pasti aku akan datang, Ay. Tapi, ndak ditembak sama suamimu kan?"