Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita-cerita Senyap dari Sebuah Desa

22 Juni 2020   20:34 Diperbarui: 22 Juni 2020   20:40 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa tempat Ivan dan kawan-kawannya dari lintas fakultas melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah desa yang sudah maju, di sebelah selatan Wuluhan. Mayoritas penduduknya berasal dari Jawa Mataraman. Kehidupan kota sangat terasa di desa ini, meskipun berjarak kurang lebih 40 KM dari Jember. Rumah, sepeda motor, mobil pribadi, maupun truk biasa bersliweran di jalan hot mix. Kaum pemudanya juga banyak yang kuliah atau paling tidak lulus SMA. Sebagian besar warganya bertani. Para pemuda yang tidak kuliah, dari pagi sampai siang pergi ke sawah. Mereka sangat giat bekerja. Biasanya selepas Dzuhur sampai Ashar, sebagian mereka suka berjudi domino di warung Mbah Jon sambil nyruput kopi. Mereka sangat menikmati permainan itu. Mas Toto bilang kalau mereka berjudi bukan untuk mendapatkan uang banyak, tapi sekedar hiburan di waktu senggang. Paling-paling nanti kalau menang buat beli rokok dan ngopi bersama.

Mereka memang suka berjudi, tetapi perilaku sosial mereka sangatlah baik. Beberapa hari yang lalu, misalnya, ketika ada salah satu warga yang meninggal, Mas Toto dan ‘pasukannya’ langsung menuju kuburan, tanpa diminta. Tidak lupa ia mengajak Ivan. Sambil bercanda tentang cewek-cewek yang menjadi incaran, mereka menggali tanah kuburan yang mengering oleh kemarau. Ganco dan cangkul menjadi sahabat yang benar-benar membantu. Sekitar 3 jam, lubang kuburan sedalam 1,5 meter berhasil digali.

“Memang, sebagian warga yang tidak suka kepada perilaku sehari-hari kami di warung Mbah Jon, menyebut kami preman, Mas. Ya, biasalah, di desa, ada yang benci, ada yang menganggapnya biasa-biasa saja. Bagi kami yang penting kami tidak mencuri milik warga. Haram hukumnya, Mas. Yang penting kami aktif dalam kegiatan sosial semacam kalau ada kematian seperti ini, Mas. Paling tidak, kami ini masih punya hati untuk membantu orang lain, bukan sekedar preman yang suka berjudi dan mabok,” tutur Mas Toto sambil bersandar pada batang pohon bendho.

“Siapa sih, Mas, yang menyebut Sampean dan kawan-kawan preman?” tanya Ivan sambil memainkan rerumputan kering.

“Ya, ada saja, Mas. Ya, tokoh agama dan juga para guru. Tapi, ya ndak semua. Pak Karim, dia juga guru, tapi tidak pernah mengolok-olok kami. Kebanyakan memang tokoh agama. Lucunya, para tokoh agama itu tidak pernah menyinggung kebaikan kami waktu ada kematian atapun kerja bhakti bersih desa, tetapi menyinggung-nyinggung kegiatan sehari-hari kami di warung, yang katanya dosa, preman, brandalan, ndak tahu agama, macam-macamlah.” 

Selang beberapa saat, rombongan pembawa jenasah datang diikuti tokoh agama, perangkat desa, dan anggota keluarga. Mas Toto dan kawan-kawan segera bersiap-siap untuk penguburan. Setelah jenasah selesai dikubur, Pak Modin memberikan kutbah kematian. Ternyata Mas Toto dan kawan-kawannya ikut mendengarkan dengan seksama.  

Begitulah, pertentangan antara para pemuda yang suka nongkrong di warung dengan tokoh agama memang menjadi warna sehari-hari. Meskipun demikian, tidak sampai berujung pada konflik terbuka dan adu fisik. Dalam kondisi demikian, para mahasiswa KKN memang harus pandai-pandai bersiasat, biar tidak terjebak pada salah satu kubu, karena bisa mengganggu pelaksanaan program di desa. Kadang-kadang, mereka harus bengkerengan, berdebat dengan keras, ketika ada salah satu anggota yang mengajak untuk menjahui para pemuda. Cara pandang seperti itu bisa mengganggu program dalam bidang kepemudaan dan olah raga. Kalau sudah bengkerengan, Nunung, mahasiswi dari Fisipol, akan menengahi dan semua menjadi diam. Ya, Nunung memang figur pemersatu di posko. Dia bisa memadukan keliaran pikiran Ivan dan beberapa kawan dengan ketertiban pikiran beberapa kawan yang lain.

Memasuki bulan kedua, Ivan memulai program mandiri. Sesuai bidangnya, Ivan mengajar Bahasa Inggris di salah satu yang dikelola oleh salah satu organisasi keagaamaan Islam di sebuah dusun, sekitar 1 KM arah barat posko. Hari pertama ia masuk, sebagian murid kelas 5 memandangnya dengan aneh. Sebagian yang lain, hanya tersenyum. Ivan berusaha mengakrabkan diri dengan mereka. Untung ia dapat ilmu teater, jadi bisa acting jadi guru, karena pernah memang tidak mendapatkan teknik mengajar di Kampus. Dengan acting-nya yang terkadang sangar terkadang lucu itulah para murid, akhirnya, bisa menerimanya. 

Pada hari kedua jadi ‘guru’ ia minta izin kepada kepala sekolah untuk mengajak mereka berjalan-jalan ke sungai kecil di pinggir sekolah; mengajari mereka dengan suasana segar, biar tidak di dalam kelas saja. Guru kelas, seorang perempuan berjilbab yang alim dan ayu, mendampinginya. Ternyata dia hanya lulusan SMA. Karena kurang guru, maka dia direkrut. Tahun depan rencananya dia mau kuliah PGSD di Universitas Jember. Awalnya dia tampak risih karena mungkin rambut Ivan yang gondrong. Namun, mungkin setelah melihat cara mengajarnya yang langsung mendekatkan murid kepada alam, perempuan itu bisa cair. Nama, Bu Guru itu Aulia. Ivan memanggilnya “Ay”—sebuah panggilan yang aneh, karena Aulia biasa dipanggil Lia di dusunnya. Usianya 2 tahun lebih muda dari Ivan.

Hari-hari berikutnya bersama Aulia ternyata sangat menyenangkan. Mereka cepat akrab. Bahkan para murid kelas 6 yang sudah mengerti arti pacaran, sering menjodoh-jodohkan Ivan dengan Aulia. Wah-wah, anak-anak sekarang memang heboh. Kadang-kadang Ivan sering kikuk, ketika di kelas Aulia duduk bersama para murid memperhatikan caranya mengajar bahasa Inggris. Yang paling membuatnya malu adalah ketika mata mereka saling bertabrakan. Ivan benar-benar kalah oleh pandangan mata perempuan berjilbab itu.

“Memang, Ay sudah punya calon, ya?” tanya Ivan memberanikan diri, ketika mereka berdua berada di ruang guru waktu jam istirahat. Kepala Sekolah dan guru-guru lainnya sedang ada rapat dinas di kecamatan. Dia tampak malu-malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun