Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Senyum untuk Hidup Kedua

20 Juni 2020   16:43 Diperbarui: 20 Juni 2020   21:44 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freeimagesandillustrations.blogspot.com

Sekembalinya dari liburan di desa, pada sebuah malam, Nandi mendapatkan telepon dari  Pak Tarji. Ia memintanya datang ke Surabaya untuk menemaninya menjenguk keluarga di Lamongan. Nandi begitu bersemangat menerima permintaan itu. Sebuah pertemuan besar yang mempertemukan manusia-manusia yang sengaja dipisahkan oleh rezim Soeharto akan segera terwujud.

Sebuah pertemuan yang selalu diimpikan oleh Pak Tarji dalam penantian panjang. Tapi, di tengah-tengah panasnya hawa di terminal bus Lamongan, siang ini, Pak Tarji benar-benar tampak ketakutan. Bayangan-bayangan kengerian akibat ditolak oleh keluarga—Marni, Ningsih, adiknya, dan keluarga besarnya—serta dicaci-maki oleh warga desanya tiba-tiba hadir memenuhi pikirannya.

“Apa mereka masih mau menganggapku sebagai bagian dari kehidupan mereka, Nduk? Apa warga desa tidak akan meneriaki dan mengusirku sebagai orang PKI?” tanya Tarji sembari mengajaknya duduk di bangku taman terminal.

“Pak, aku yakin tidak ada keluarga yang mau menolak anggota keluarganya. Apalagi, mereka tahu bahwa kepergian Njenengan dipaksa oleh kondisi. Aku yakin mereka juga sangat merindukan Njenengan. Soal warga, aku rasa tidak menjadi masalah. Tentu akan ada orang-orang yang sinis, tapi ndak usah dihiraukan. Lagian, zaman sudah berubah, Pak. Sudah banyak orang yang ngerti bahwa peristiwa itu didalangi tentara.” Nandi membuka botol air mineral dan mempersilahkan Pak Tarji meminumnya. Selama beberapa menit kemudian ia diam. Matanya menerawang jauh ke depan.

“Baiklah, semoga saja begitu adanya. Mungkin lebih baik kalau kita ke rumah keluargaku terlebih dahulu. Soalnya kalau langsung ke rumah istriku, Marni, kurang etis, kan di sana ada suaminya. Nanti, biar adik-adikku yang menghubunginya.”

Dengan senyum sumringah, Nandi menyetujui usulan Pak Tarji. Lalu, mereka berdua mencari angkutan umum menuju sebuah kecamatan di bagian barat kota Lamongan, Sugio. Oleh seorang lelaki setengah baya berkumis berkumis tebal, mereka disuruh menuju mobil kijang keluaran 80-an yang sudah dimodifikasi untuk angkutan umum di sisi selatan terminal. Beberapa penumpang tampak sedang menunggu keberangkatan sambil menikmati bakso.

Tigapuluh menit menunggu, akhirnya mobil angkutan berangkat. Di sepanjang perjalanan, Pak Tarji bercerita kalau dulu jalan yang dilewati angkutan umum ini masih jalan tanah. Kalau hujan tidak bisa dilewati sepeda onthel. Dulu waktu ia bersekolah ke Lamongan, sering harus jalan kaki kalau musim hujan. Meskipun demikian, jalan ini telah berjasa mengantarkannya menjadi seorang guru SD, meskipun harus ia tanggalkan pekerjaan itu karena tragedi 65. Banyak di antara teman sekolahnya yang mrothol, tidak melanjutkan sekolah karena beratnya perjalanan menuju kota. Tapi, mereka yang berhasil sekolah sampai lulus, rata-rata menjadi pegawai negeri, baik guru maupun staf di kecamatan atau di kabupaten. Beberapa penumpang memperhatikan mereka berdua. Nandi mencoba tersenyum kepada mereka. Mereka membalas dengan senyuman pula. Mungkin mereka merasa aneh dengan apa yang dibicarakan Pak Tarji kepadanya.

Sampai di pasar kecamatan, mereka naik ojek menuju desa tempat keluarga besar Pak Tarji. 15 menit perjalanan mereka berdua sampai di depan sebuah rumah berbentuk limas berdinding kayu jati.

“Kulo nuwun, kulo nuwon,” ucap Pak Tarji sambil mengetuk dinding rumah itu. Seorang perempuan tua berambut putih keluar dengan berjalan tertatih. Lama sekali ia mengamati mereka berdua. Matanya tiba-tiba berkaca, bibirnya terngangah, ketika ia menatap dari jarak dekat Pak Tarji.

Mbok, Simbok.

“Tarji, Cong, anakku. Ini benar-benar kamu ta, Cong?” ucap perempuan tua itu sambil memegang kepala Pak Tarji yang langsung bersimpuh duduk memeluk kedua kakinya. Nandi tak kuasa menahan air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun