Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kenapa juga Ivan tidak jatuh cinta kepadaku? Bukankah kami sudah sangat dekat sejak awal perjumpaan? Kenapa juga ia lebih memilih Dev? Bukankah aku tidak kalah cantik? Seandainya dulu ia ‘menembakku’, aku pasti menerimnya.” Nandi hanya bisa tersenyum sendiri memikirkan pertanyaan-pertanyaan aneh itu.

Nandi bangun dengan wajah yang lebih sumringah paginya. Sehabis Subuh, ia membantu Ibu di dapur. Ketika matahari sudah mulai membuka warna desa, ia meminta izin kepada Ibu untuk jalan-jalan. Baru beberapa langkah keluar dari halaman rumah, ia bertemu dengan Mbah Karso, lelaki tua pemilik gubuk di dekat kali di bawah bukit. Ia jadi ingat-kembali mimpi aneh itu. Setelah menyapa, aku menemaninya jalan-jalan. Meski rambutnya sudah memutih, dia masih kuat berjalan setiap pagi.

“Kamu sudah besar, Cah Ayu. Dulu waktu kamu masih ingusan sering Mbah marahi kalau terlalu lama mandi di kali.”

“Hemm, ternyata Njenengan masih ingat kejadian itu. Mbah, aku boleh tanya sesuatu?”

“Tanya apa, Cah Ayu?”

“Begini Mbah, beberapa bulan yang lalu aku bermimpi mendaki bukit di atas kali itu. Nah, terus aku melihat ada perkampungan di sana. Apa benar di sana ada perkampungan, Mbah?” Mbah Karso berhenti sejenak, menatapnya dalam-dalam. Nandi jadi merasa tidak enak. Jangan-jangan omongannya tadi mengusik pikiran lelaki tua yang hidup seorang diri itu? Tidak lama, dia mengajaknya duduk di buk, bangku tembok, di perempatan desa. Ibu-ibu yang pulang belanja dari pasar menyapa mereka berdua.

“Tidak banyak orang yang tahu ada apa di balik bukit itu, karena sejak dulu dikatakan sebagai hutan larangan. Tidak ada yang berani ke sana karena selalu dikatakan banyak hantunya. Dulu, waktu aku masih muda dan Bapakmu masih SMP, kami pernah melanggar larangan itu. Kami pergi ke sana. Kami hanya menemukan pohon-pohon yang sangat besar. Banyak kijang berkeliaran. Dengan penuh hati-hati kami masuk semakin ke dalam. Tiba-tiba, bulu kuduk kami merinding, seperti mendengar suara rintihan orang-orang yang sekarat. Kami mencari, tetapi tidak menemukan orang-orang itu. 

Tapi, kami menemukan banyak tanah gundukan yang sudah ditumbuhi semak dan pohon-pohon kecil, seperti kuburan. Jumlahnya, kalau ndak salah sekitar lima gundukan. Kami amati gundukan-gundukan itu, sambil menahan rasa takut. Lalu, Bapakmu menemukan tiga bilah pedang yang sudah berkarat. Aku pun menemukan lima bilah arit. Kami tidak berani mengambil benda-benda itu, karena suara-suara rintihan itu semakin keras.

Aku dan Bapakmu lari tunggang-langgang. Sampai di kali, kami berjanji tidak akan menceritakan apa-apa yang kami temukan kepada warga desa. Jadi, hanya aku dan Bapakmu yang tahu. Aku menduga, gundukan-gundukan itu kuburan massal anggota PKI. Karena waktu 65, banyak orang PKI dari desa ini dan desa-desa tetangga yang dibawa laskar dan tidak pernah kembali. E, ternyata kamu tahu lewat mimpi. Mungkin itu sebuah pertanda, Ndok.”

“Pertanda apa, Mbah?”

“Mungkin kamu harus mengungkap rahasia di balik hutan larangan itu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun