“Nah gitu dong, calon istri yang baik mesti belajar urusan rumah.”
“Eit, jangan ngawur, ya. Aku ndak mau hanya berdiam di rumah. Eman ijazahku dong. Pokoknya calon suamiku nanti harus paham bahwa aku ingin bekerja. Tenang, aku ndak akan melupakan keluarga.”
“Mantap. Aku bisa memahami kok.”
“Maksudmu? Kok kamu bilang bisa memahami, memangnya kamu siapa?”
“He...he...kepancing kan? Ndak...ndak bercanda kok.”
“Dasar. E, ngomong-ngomong, Bapak memintaku mengajakmu ke rumah. Tapi, kamu jangan ge-er dulu. Itu bukan berarti apa-apa kok.”
“Waduh, ini tanda-tanda ada lampu hijau dari calon mertua.”
“Vannn...kamu jangan nglantur. Awas kalau macem-macem. Memangnya, masih kurang berapa bulan KKN-mu?”
“Ya, sekitar dua bulan lagi. O, iya, sudah dulu ya, ini sudah habis banyak. Maaf. Maaf banget, harus hemat.”
“Iya...iya. Makasih ya, Van.”
Entah, Nandi merasakan sebuah kebahagiaan setelah menerima telepon itu. Sampai-sampai, Bapak dan Ibu bengong melihatnya ketika melangkah ke kamar tidur sambil senyam-senyum sendiri. Ia bersikap cuek saja karena, toh, ia juga berhak menikmati rasa senang itu. Tiba-tiba, semua kenangan indah ketika awal mereka bertemu sampai terakhir ketika sering menonton teater kembali hadir.