“Lho, apa ndak nanya hal-hal yang agak pribadi gitu?”
“Tadi dia mau membelikanku HP, aku tolak. Takutnya ada maksud apa-apa.”
“Kan enak dibelikan HP, biar kalian tambah akrab. Aku senang melihat kalian berdua. Sepertinya, cocok.”
“Walah, Bu, aku ndak mau mikirin masalah itu dulu. Tambah ruwet skripsiku nanti. Ibu ndak usah mikir calon suamiku, nanti aku cari sendiri.”
“Namanya orang tua itu harus memikirkan yang terbaik buat putrinya.”
“Sudahlah, Ibuku sayang. Tenang, pasti aku nanti dapat calon suami yang paling guanteng sejagat.”
“Halah...mulai nglantur. Awas bawangnya gosong. Cepat diangkat.”
Hari-hari berikutnya bagi Nandi adalah hari-hari yang penuh keindahan bersama Ibu di dapur, bersama Bapak di sawah, atau bersama kedua adiknya di warung bakso di Jajag. Satu bulan menikmati liburan bersama keluarga tercinta, malam ini, sedang enak-enaknya menonton teve bersama Ibu, Bapak memanggilnya, katanya ada seorang teman yang menelpon. Ketika dia tanya siapa namanya, Bapak hanya senyam-senyum, membuatnya semakin penasaran. Ternyata telepon dari Ivan.
“Aku pikir kamu sudah lupa sama aku, gara-gara kecanthol cewek se-posko atau anaknya kades.”
“Hei, jangan mulai deh. Aku agak sibuk, soalnya dapat tugas tambahan sebagai Koordinator Kecamatan. Apa saja kegiatanmu di rumah?”
“Emmm...standar banget. Menemani Bapak ke sawah, menemani Ibu memasak, melayani adik-adikku yang manja. Tapi, aku senang banget bisa hadir di tengah-tengah mereka.”