Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari-hari berikutnya, ditemani Bapak dan Mbah Karso, Nandi mendatangi salah satu pensiunan tentara yang mempunyai daftar para anggota PKI yang dibunuh di hutan larangan. Awalnya dia keberatan untuk memberikannya. Setelah beberapa hari berusaha meyakinkannya bahwa kegiatan itu bukan untuk apa-apa selain untuk menyempurnakan arwah para korban, dia mau memberikan daftar itu. Dia berpesan agar mereka merahasiakan asal-usul daftar itu.

“Semoga saja dengan memberikan daftar itu, aku bisa terbebas dari mimpi buruk setiap malam yang membuatku selalu bangun dengan nafas terengah-engah,” ucapnya ketika memberikan daftar itu kepadaku.

“Kalau Njenengan berkenan, bolehkah saya tahu mimpi seperti apa itu, Pak?” tanyanya memberanikan diri. Lelaki tua berambut putih itu menghela nafas, sambil menatap Mbah Karso dan Bapak.

“Puluhan orang PKI yang dibunuh dikubur di hutan larangan mendatangiku, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan tangisan tanpa air mata. Aku benar-benar sedih melihat kedatangan mereka. Kesedihan itulah yang membuatku ketakutan, karena telah ikut menjadikan mereka dikubur tanpa pengadilan di hutan larangan itu, terpisah dari keluarga mereka. Jujur, aku dulu juga tidak setuju dengan pembunuhan itu. Tetapi, itu semua komando dari Jakarta. Dan, sebagai tentara dengan pangkat rendah, aku dan kawan-kawan harus menurutinya,” lelaki tua itu meneteskan air mata. Mbah Karso berusaha menenangkannya dengan memijat bahunya. Untuk beberapa saat Nandi larut dalam pikirannya sendiri. Mungkin selama ini ia terlalu mengeneralisir bahwa semua tentara angkatan darat bersalah atas pembunuhan para anggota, simpatisan, atau mereka yang dituduh PKI. Dia tidak pernah berpikir bahwa tidak semua tentara menyetujui komando tersebut, meskipun mereka tidak bisa menolaknya.

“Sudahlah, Kang. Semoga kesediaan untuk menyerahkan daftar itu bisa sedikit mengurangi beban pikiran Sampean. Mungkin dengan berkurangnya beban itu, Sampean bisa berangsur-angsur terbebas dari mimpi menyedihkan itu. Aku yakin Gusti Pengeran mendengar doa Sampean,” tutur Mbah Karso.

“Aamien, Dik,” sahut lelaki tua itu.

Beberapa hari setelah mendapatkan daftar itu, mereka bertamu ke para warga yang orang tua, suami, istri, ibu, atau saudara mereka hilang semasa 65. Beberapa warga takut, tapi setelah mereka meyakinkan demi kesempurnaan jenasah orang-orang PKI itu, keluarga para korban mau bercerita. Sebagian ada yang memberikan ciri-ciri khusus berupa benda-benda yang menempel di tubuh mereka ketika dibawa laskar. Sebagian tidak ingat lagi.

Batin dan pikirannya benar-benar berkecamuk, ingin marah dan mengumpat, setiap kali Nandi, Bapak, dan Mbah Karso habis mendatangi keluarga para korban 65. Tapi, ia selalu berusaha meredam keinginan itu, karena tidak ingin Bapak dan Ibu sedih. Dalam kondisi itu, setiap menjelang tidur, untuk sedikit mengusir amarahnya, Nandi selalu membayangkan-kembali kebersamaannya dengan Ivan setiap kali menonton pertunjukan teater. Ah, rasa-rasanya mereka seperti sepasang kekasih yang ingin merayakan kebersamaan dengan menikmati pertunjukan seni. Sampai-sampai banyak kawan Ivan yang menanyakan statusnya, kekasih atau sahabat. “Tanya saja sama Nandi,” begitu jawaban taktisnya. Lucu juga. Mungkinkah ia berharap sebuah kisah baru bersama Ivan? Seperti kata orang bijak, hari esok siapa yang tahu. Yang pasti, saat ini ia mempunyai tugas tambahan, selain mengerjakan skripsi: mengusahakan agar para korban 65 yang dikubur di hutan larangan bisa dipindahkan ke kuburan yang lebih layak.  (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun