Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu pertunjukan teater berjudul Sebuah Sujud Selepas Subuh selesai, semua penonton bertepuk tangan. Naskah pertunjukan itu ditulis berdasarkan tulisan Nandi. Perempuan itu tak kuasa menangis ketika semua pemain yang memerankan Pak Tarji, Bu Marni, dan tokoh-tokoh lainnya memberi salam kepada penonton di Aula Fakultas Sastra. Ia tidak pernah menyangka bahwa pertunjukan teater dengan konsep campuran “monolog, dialog, dan tuturan narator” itu bisa membuat banyak penonton terharu, bahkan banyak yang meneteskan air mata.

Awalnya, ia meminta Ivan untuk membaca tulisannya ketika dua bulan lalu mereka berjumpa di kantin kampus. Menurutnya, ceritanya bagus dan ia meminta izin untuk mendiskusikannya dengan para pegiat teater di Dewan Kesenian Kampus [DKK], organisasi  kesenian mahasiswa di Fakultas Sastra, untuk dipentaskan. Setelah melalui beberapa diskusi, mereka memutuskan untuk mementaskan naskah dengan judul yang sama. Rendra—pentholan teater dan kawan sekelas Ivan—menulis naskahnya dan ia pula yang menyutradarai pementasan itu.

Malam ini mereka benar-benar menghidupkan kembali kehidupan Pak Tarji dan Bu Marni yang harus berpisah karena peristwa 65; peristiwa yang tidak pernah mereka pahami mengapa harus terjadi dan harus memisahkan cinta antarmanusia sekian lamanya, sampai saat ini. Konflik politik yang berlangsung di Jakarta ternyata harus mereka tanggung dengan sebuah tragedi perpisahan raga dan batin, perpisahan suami dengan istri dan anak-anaknya. 

Inilah tragedi kemanusiaan yang sebenarnya. Orang yang ia dan banyak aktivis mahasiswa yakini sebagai dalang utama tragedi kemanusiaan di negeri ini, Soeharto, harus menanggung karma, dilengserkan oleh gerakan mahasiswa 1998, setelah 32 tahun membius bangsa ini dengan senyuman dan rayuan pembangunan yang ditopang hutang luar negeri. 

Meskipun demikian, warisan sejarah dari tragedi itu masih saja belum bisa diselesaikan, bahkan ketika bangsa ini sudah menikmati masa-masa Reformasi. Banyak mahasiswa sebagai kaum intelektual yang mestinya berpikir kritis terhadap tragedi 65 masih meyakini PKI sebagai biang dari tragedi berdarah itu. Hal itu terbukti ketika acara diskusi selepas pertunjukan berlangsung.

“Dengan mementaskan lakon tadi, aku melihat ada keinginan dari penulis naskah dan sutradara pertunjukan ini untuk melakukan sebuah pembelaan terhadap PKI. Padahal kita tahu, PKI-lah yang hendak mengganti ideologi negara dengan komunisme. PKI-lah yang berusaha menciptakan kondisi chaos di Republik ini”. Begitulah kritik tajam dari Robby, seorang penonton yang berasal dari sebuah organisasi ekstra berbasis ideologi Ikhwanul Muslimin yang mulai berkembang di kampus selepas gerakan Reformasi.

“Terus terang naskah ini bukan berasal dari karyaku sendiri. Nandi, sahabatku yang sedang menulis kisah hidup para anggota PKI pasca 1965 memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap naskah dan pementasan ini. Semangatnya, aku pikir, bukan lagi kepada memberikan pembelaan terhadap PKI sebagai pihak yang tidak salah dalam tragedi berdarah itu. 

Semangat yang kami usung adalah bahwa dalam setiap tragedi kemanusiaan yang terjadi karena rekayasa dan kepentingan politik elit, selalu saja menyisakan kisah-kisah perpisahan antarmanusia yang semestinya bersatu. Istilah Islam-nya, hablum minanas”, tutur Rendra menanggapi kritik tersebut. Ivan sebagai moderator mengembalikan kepada Robby yang segera membantahnya kembali.

“Tetapi, menampilkan kisah mereka dengan penuh simpatik, itu sama saja dengan memberikan kesan pembelaan,” tukas Robby dengan muka merah. Nandi yang semula diam menikmati perdebatan itu, tidak tahan untuk tidak ikut berkomentar. Setelah meminta izin kepada Ivan, ia mulai angkat bicara. Gaya aktivis masih melekat dalam tuturannya, meskipun ia sudah tidak lagi duduk di Senat mahasiswa.

“Robby, aku pikir kamu harus sedikit mendinginkan kepala. Pola pikirmu jangan selalu hitam-putih. Sampai sekarang, belum ada fakta historis yang menyatakan PKI sebagai pihak yang bersalah. Coba kamu baca lagi buku-buku terakhir tentang tragedi 65. Terlepas dari PKI itu salah atau tidak, faktanya, mereka memang dikorbankan, dibunuh, dipenjara, dan diasingkan, berpisah dari indahnya sebuah hubungan antarmanusia. Soeharto dan antek-anteknya membutuhkan dukungan politik. 

Jadinya, ia memainkan isu pertentangan komunis-agama untuk melegalisasi dalih genosida bagi para anggota PKI. Itu faktanya. Apa kami salah kalau berimpati kepada kehidupan mereka? Itu tidak sama dengan bersimpati kepada ideologi komunis.” Mendengar argumen itu, Robby hanya bisa diam, mendongkol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun