Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(M)batin dalam Senyap

29 Februari 2020   14:56 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dukuh Pangkat, Lamongan bagian Barat, dini hari, dua minggu setelah Tragedi Berdarah 30 September 1965 di Jakarta. Suara serangga memenuhi udara ketika bintang bependar melukis langit. Orang-orang masih terlelap dalam tidur, kecuali beberapa lelaki yang masih berjaga di gerdu ronda sambil menikmati menyok---singkong---bakar. Mereka bercanda sekedar mengusir kantuk. Wajah mereka mendadak tegang ketika melihat rombongan laskar bersenjata bersenjata pedang, arit, dan penthungan melewati gardu. Para peronda itu hendak mencegat, namun wajah garang para anggota laskar menciutkan nyali mereka. Para peronda itu tidak berani untuk sekedar bertanya kemana tujuan mereka. Mereka sudah paham bahwa akan ada warga dukuh yang akan 'diambil'. Rombongan itu terus bergerak membelah dini hari yang mestinya suci. Mereka menuju sebuah rumah joglo tua yang diterangi lampu templek. 

Ketua laskar, lelaki muda yang mengenakan kopyah dan berkalung sarung, menggedor pintu rumah. Seorang lelaki setengah baya, Kardi, Lurah Pangkat, didampingi istri dan ketiga anaknya, keluar. Tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya karena dia sudah tahu mereka akan datang mengambilnya, seperti yang terjadi pada kawan-kawannya sesama lurah yang menjadi anggota PKI. Istrinya, Karti, memeluk ketiga anaknya yang masih kecil dan belum tahu apa-apa. Ia tampak sedih dan ketakutan.

Ketua laskar mengatakan kepada Kardi bahwa dia harus ikut. Kardi sudah paham. Dia segera memeluk dan mencium istri dan ketiga anaknya.

"Dik, aku titip anak-anak. Besarkan mereka dengan kasih sayangmu, seperti yang telah kamu berikan kepadaku selama ini. Yakinlah, Gusti Pengeran akan membimbingmu dan anak-anak dalam menjalani hari-hari tanpaku." Kardi, sekali lagi, memeluk istrinya yang mulai menangis. Melihat Simbok-nya menangis, ketiga anaknya ikut menangis.

Beberapa anggota laskar segera menarik tangan Kardi, seperti menarik seorang maling yang tertangkap. Tangisan dan permohonan ampun Karti tidak dihiraukan.

"Jangan bawa suamiku, dia tidak bersalah!! Ampuni kami. Ampuni kami," tangis Karti sambil memeluk ketiga anaknya.

"PKI tidak pantas diampuni," bentak ketua laskar, lelaki muda yang mengenakan kopyah dan berkalung sarung.

Orang-orang itu meninggalkan Karti dan ketiga anaknya dalam tangisan panjang. Perempuan itu hanya bisa memandangi kepergian suaminya dengan kehancuran karena pada hari-hari berikutnya, dia dan ketiga anaknya tidak mungkin lagi bisa bercanda dengan suami yang sudah sepuluh bersama ia dampingi. Perempuan itu mengajak ketiga anaknya masuk ke rumah dengan segenap kehancuran batin karena kesombongan orang-orang yang mencuri hak Gusti Pengeran untuk mengakhiri hidup seorang manusia. 

Di dukuh tetangga yang letaknya sekitar 10 KM dari rumah Kardi, tepatnya di pinggir mbarongan, hutan bambu, kepala laskar memukulnya dengan penthungan diikuti beberapa anggota lainnya. Dia tidak bergeming, meskipun darah mengalir segar dari pelipis kirinya. Mukanya lebam. Beberapa anggota laskar memegangi kedua tangannya. Kepala laskar membisiki algojo. Dengan muka garang sembari mengucapkan Bismillahirohmanirohim dan diikuti teriakan Allohu Akbar orang-orang,  dia memenggal leher Kardi dengan pedang panjang. Mereka bengong, tidak percaya. Kardi tidak luka sedikitpun. Dia malah tersenyum, sambil menahan sakit, bukan karena pedang itu, tapi karena pukulan penthungan ketua laskar. Si algojo kembali berusaha memenggal leher Kardi, tetapi sia-sia.

"Bangsat, kamu pasti punya ilmu hitam", bentak si algojo.

"Ha...ha...tidak ada ilmu hitam itu, semua ilmu itu putih, tergantung orang yang menggunakannya. Kalian setiap hari ngaji Qur'an, bukannya mengamalkan kandungan ilmunya, malah membunuh orang. Apa itu namanya orang Islam? Untung aku tidak memeluk agama ini." Kardi menjelma orang yang sangat berani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun