Mohon tunggu...
Dejan Abdul Hadi
Dejan Abdul Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Pegang teguh Prinsip agar kau dapat kerpecayaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Surat Telegram Kapolri, Surat Tanda Cinta atau Tanda Bahaya?

12 April 2020   10:05 Diperbarui: 12 April 2020   13:21 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasalnya perintah dalam ST/1100 dapat  menimbulkan potensi bahwa petugas Polri dapat berbuat refresif  dengan menafsirkan secara sendiri dan bebas dalam menetukan masyarakat yang dirasa melakukan penghinaan terhadap Presiden maupun pejabat pemerintah. Sehingga pemerintah ataupun negara dapat mempolisikan setiap orang yang dirasa menghina presiden dan para pejabat pemerintah.

Adanya ST/1100 ini justru menimbulkan “benang kusut” bagi Pemerintah Indonesia, pasalnya dengan terbitnya ST/1100 yang dikeluarkan oleh Polri tersebut, Penulis menilai keberadaan  ST/1100 ini-pun sangat “kontra produktif” Dengan kebijakan pemerintah melalui Permenkumham 10/2020 yang akan membebaskan sekitar 30.000 narapidana sebagai tindak lanjut antisipasi merebaknya Covid-19 di lingkungan lapas yang sudah kelebihan muatan (over capacity).

Adapun keberadaan salah satu point perintah dalam ST/1100 ini dinilai sejumlah kalangan dapat membahayakan konfigurasi politik yang berubah menjadi otoriter, pemerintah berpotensi akan bersifat abuse of power  dan membuat ketakutan (paranaoid) pada  masyarakat ditengah wabah Pandemi Covid 19.

Demikian tanpa semua sadari bahwa sifat sensitif kemungkinan akan terjadi pada sebagian penguasa dan pejabat pemerintah , sifat yang menjadi kurang sabar dan tak tahan menghadapi kritikan.

Sehingga  dengan kekuasaanya dapat menggunakan tindakan aparat untuk membungkam kemerdekaan berekspresi dengan mengedepankan langkah represif dengan menggunakan ancaman pidana yang hanya akan semakin memperburuk iklim ketakutan di tengah masyarakat.

Lagi pula, bukan tanpa sebab bahwa ketentuan mengenai penghinaan Presiden ini, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 sudah membatalkan beberapa pasal yang ada di dalam KUHP yang meyangkut kasus-kasus penghinaan Presiden seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP. 

Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan Presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis, negara yang berkedaulatan rakyat dan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

 Kembali lagi bahwa Mahkamah Konstitusi pun menekankan bahwa tidak boleh lagi ada pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputus MK bertentangan dengan Konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Dengan demikian, ketentuan pidana apapun mengenai penghinaan terhadap penguasa yang dilihat secara kelembagaan tidak dapat digunakan untuk melindungi kedudukan Presiden sebagai pejabat dan pemerintahan.Hal tersebut diperkuat oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Ashidiqqie, bahwa sesuai Pasal 207 KUHP, maka penghinaan itu bisa terancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. 

Pasal penghinaan Presiden dalam KUHP sudah berganti jadi delik aduan sebagai bukti bahwa secara pribadi yang bersangkutan memang merasa terhina. Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Indrayanto Seno Adji, bahwa penghinaan dalam Pasal 207 KUHP merupakan penghinaan “formil”.

Lalu bagaimana penghinaan formil tersebut? Prof. Indriyanto mencontohkan, misal “A menyatakan kebijakan presiden tentang PSBB tidak tepat dan membingungkan masyarakat, kemudian mengatakan Presiden bodoh. Ini merupakan penghinaan formil. "Tapi kalau A mengatakan kebijakan presiden tentang PSBB tidak tepat sasaran dan membingungkan publik , ini tidak dapat dikatakan sebagai penghinaan formil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun