Mohon tunggu...
Deirdre Tenawin
Deirdre Tenawin Mohon Tunggu... -

Instagram : @deirdretenawin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sentimen Primodial, Penyakit Dalam Sistem Politik Indonesia

12 Maret 2012   07:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13315380381613588576

Salah satu masalah yang seringkali muncul dalam proses pemilihan kepala daerah adalah menguatnya sentimen primordial yang lebih terikat pada persamaan etnis, aliran, ikatan darah dan berbagai bentuk sifat kedaerahan lainnya. Munculnya masalah ini lebih disebabkan karena karakter masyarakat yang ada di daerah juga berbeda-beda, yang ternyata dapat mempengaruhi preferensi (pilihan) politik masyarakat untuk menentukan kepemimpinan daerah. Beberapa variabel seperti latar belakang etnis, status sosial ekonomi, dan agama, dapat menciptakan suatu polarisasi pilihan politik rakyat menjadi apakah itu sifatnya rasional ataukah emosional. Apakah langkah-langkah nyata dalam upaya mengurangi sentimen primordial guna membangun sistem politik yang sehat di Indonesia?

Pertanyaan ini, merupakan pertanyaan yang sulit. Sentimen primodial sangat kuat dalam masyarakat daerah dan sangat sulit untuk dihapuskan. Menghapuskan sentimen primodial harus dimulai dengan menghapuskan fanatisme primodial. Setidaknya itu berbanding lurus. Agaknya SBY mungkin pernah mencoba menghapuskan fanatisme primodial ketika beliau mencoba melemparkan pemikiran tentang pemilu di Yogyakarta untuk memilih gubernur dan meminggirkan dominasi peran sultan, akan tetapi beliau justru mendapat kecaman keras dari rakyat Yogyakarta yang terlanjur cinta mati pada sultannya.

Dalam masyarakat kedaerahan, tokoh masyarakat punya peran sangat penting. Mungkin justru kita bisa memanfaatkan keadaan ini. Memanfaatkan fanatisme primodial untuk menghapuskan fanatisme primodial. Jika orang dari luar kelompok berusaha menghapuskan fanatisme primodial di dalam kelompok, kemungkinan akan muncul perlawanan dari dalam kelompok yang merasa terusik. Tapi jika itu dikerjakan oleh orang di dalam kelompok, mungkin respon dan penerimaannya bisa berbeda. Unsur kedekatan membuat tranfer nilai lebih mudah untuk dilakukan.

Para tokoh masyarakat di daerah dengan dukungan yang besar bisa menjadi saluran pendidikan toleransi dan kebhinekaan dalam pluralisme. Jika para tokoh masyarakat yang dicintai rakyatnya, menjadi teladan dan mendorong rakyatnya untuk meninggalkan sentimen primodial, ada kemungkinan sentimen primodial bisa diminimalisir di negeri ini.

Mari berandai-andai, jika Sultan Hamengkubuwono X berkata pada rakyat Yogyakarta,”Sebaiknya, kita memilih si Budi (bukan orang jawa) untuk jadi gubernur di Yogyakarta, karena saya rasa dia pemimpin yang jujur, tegas, pintar dan punya potensi untuk membangun Yogyakarta ke arah yang lebih baik. Secara teknis, kehadirannya bisa sangat baik bagi Yogyakarta.” Apa respon rakyat Yogyakarta? Mungkin akan jauh lebih welcome.

Tapi, berapa banyak tokoh masyarakat dalam popularitas yang begitu nyaman rela mengoper kenyamanannya pada orang lain? Berapa banyak yang mau repot-repot peduli untuk menghapuskan sentimen primodialisme? Malahan mungkin sentimen primodial ditunggangi dengan nikmat oleh para tokoh masyarakat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ini pekerjaan rumah untuk mereka yang benar-benar ingin berjuang untuk menghapuskan sentimen primodial.

Cara lain yang bisa dikerjakan adalah lewat pendidikan formal. Sejak dini, di sekolah-sekolah perlu  ditanamkan nilai-nilai pluralisme dan kebhinekaan. Mungkin cara ini bisa sedikit membantu membentuk pemikiran yang benar dalam diri anak. Sehingga sampai dewasa, ia bisa memegang teguh nilai-nilai tersebut dan tidak mabuk dengan fanatisme primodial. Meski pada kenyataannya, saingannya cukup berat. Nilai-nilai kebhinekaan harus bersaing dengan pendidikan yang diterima anak di rumah. Sebab, umumnya fanatisme primodial lahir dan ditanamkan di dalam keluarga, yang celakanya sebagai pendidik perdana dalam perkembangan diri seorang anak.

Mungkin, kemudian muncul pertanyaan, mengapa tidak membenarkan kecendrungan sentimen primodial pada diri orang tua sehingga mereka bisa mendidik anak-anaknya dengan benar? Jawabannya itu sulit. Sebab orang tua cenderung punya pikiran yang sudah paten dibandingkan anak-anak yang lebih mudah untuk dibentuk. Perlu sesuatu yang benar-benar menghipnotis diri mereka, sehingga mampu mengubah nilai-nilai yang sudah begitu erat dalam pikiran mereka. Misalnya ya, pesona tokoh masyarakat tadi. Sejauh ini, itu cara yang kelihatan lebih ampuh. (Deirdre Tenawin)

Nb : Paragraf pertama merupakan pertanyaan dari Dosen Politik saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun