Menulis tentang kemiskinan, kiranya tak perlu melulu menceritakan kenestapaan, kemalangan ataupun kesedihan semata. Menjadi miskin saja sudah bikin susah. Jadi mengapa mesti menuliskan kemiskinan dengan potret, yang boleh jadi, memang sudah menyedihkan dari sono-nya.
Tidak banyak penulis yang menulis tentang kemiskinan dengan selera humor yang berkelas, seperti yang ditunjukkan oleh cerpenis Agus Noor.
Dalam cerpen "Perihal Orang Miskin yang Bahagia," yang terdapat dalam kumpulan cerpennya," Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia."  Ia menuliskan kemiskinan dengan selera humor yang berkelas, tidak membuat hati terlarut dalam kesedihan semata. Tapi dengan caranya, menuliskan kemiskinan dengan nada humor maka hati kita tidak semata-mata dibuatnya miris, tapi juga dibikinnya berpikir.
"Tak gampang memang jadi orang miskin," ujar orang miskin itu.
"Hanya orang miskin gadungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin" sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, tempat Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. "Ini bukti kalau aku orang miskin sejati."
Menjadi miskin di republik in, tidak cukup hanya dengan sekedar  pakaian kumal, gubug reyot, perut yang senantiasa kelaparan. Tapi dibutuhkan pula selembar keterangan atau identitas yang menyatakan bahwa ia benar-benar miskin, yang dikeluarkan oleh Kepala desa atau Kepala Kelurahan.
Yang bisa dipakai untuk berobat ke rumah sakit, atau untuk mendapatkan beras miskin alias raskin yang tidak gratis, juga sekedar beasiswa pendidikan dari sekolah.Yang anehnya, sungguh tidak mudah untuk mendapatkannya.
Itulah yang dialami pasangan Martin Ismail dan Kania Susan, karena tidak memiliki kartu miskin ataupun keterangan yang menyatakan mereka orang miskin. Anaknya yang menggemaskan, Nisza yang berumur 8 bulan, tidak mendapatkan perawatan yang semestinya dari rumah sakit Mitra Anugerah Lestari (MAL) di Cimahi. Sehingga putra pasangan itu meninggal menggenaskan.
Nisza dilarikan ke rumah sakit MAL setelah mengalami sakit panas, Jum'at (20/10), sampai di rumah sakit pukul 14.00 dalam keadaan sakit parah, Namun pihak rumah sakit tak melakukan tindakan apapun, Nisza dibiarkan saja tergolek di ruang gawat darurat, pihak rumah sakit hanya meminta biaya administrasi dulu dibayarkan, sebesar Rp. 500 ribu. Yang harus segera dibayarkan segera atau di muka, baru ada tindakan perawatan.
"Ada uang, ada pelayanan," kata petugas rumah sakit MAL.
Martin pun kalang kabut, karena tidak membawa uang sepeser pun. Martin pun pulang ke rumahnya, meminjam ke tetangganya, yang memberinya pinjaman. Jam menunjukkan angka 18.00 WIB ketika Martin menyerahkan uang adminstrasi sebvesar Rp. 144 ribu. Barulah ada tindakan perawatan kepada Nisza, jadi selama 4 jam bayi berusia 8 bulan itu dibiarkan begitu saja, menderita sakit panas.