Mohon tunggu...
Defa Moses
Defa Moses Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Ad Maiorem Dei Gloriam

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Realita Tanpa Kepastian

30 Maret 2022   08:23 Diperbarui: 30 Maret 2022   08:26 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sebagai sahabat, apa yang bisa kulakukan tuk menolongmu", katanya penuh harap.
Kutatap dia dalam-dalam, ada ketulusan di matanya untuk membantuku.
Keluargaku baru saja mengalami masalah ekonomi, karena ayahku yang menjadi tulang
punggug keluarga kami, baru saja kehilangan pekerjaannya karena pandemi COVID-19 ini.
Aku dan temanku, Ani ini memang sudah akrab sejak kami kecil, ia bahkan sudah
menganggapku sebagai saudaranya sendiri. Ku diam sejenak tanpa mengucap sepatah
katapun, temanku pun membuyarkan lamunanku dengan menepuk pundakku.
"Hei, kenapa kamu diam saja, apa yang sedang kamu pikirkan?", katanya penuh
keingintahuan.
"Ah tidak ada apa-apa kok, santai saja", ucapku dengan sedikit gagap.
Aku pun pergi meninggalkannya untuk bergegas pulang ke rumah. Malam hari itu
di rumahku, kupandangi ayahku yang sedang melamun dalam tatapan mata yang kosong
dan penuh penyesalan. Ku termenung penuh kesedihan di balik pintu kamarku yang kecil
ini. Tak lama kemudian, ku dengar suara teriakkan ayahku,
"Ah! Kemana sih Tuhan pada saat ku sedang dalam situasi sulit ini?", ucap ayahku yang
sudah berpasrah atas keadaan hidupnya yang begitu menyedihkan ini.

Pandemi ini merenggut segalanya dari ayahku, Ia kehilangan pekerjaannya sebagai
buruh karena pengurangan jumlah karyawan di perusahaannya. Hal ini terjadi karena
perusahaan tempat ayahku bekerja tak mampu untuk membayar gaji seluruh karyawannya.
"Ah! Mengapalah semua ini terjadi padaku?"
"Hidup sudah sulit, masih saja engkau berikan cobaan padaku."
"Utangku masih banyak yang belum terbayarkan, tetapi kenapa malah aku kehilangan
pekerjaan juga?!"
Ayahku adalah seorang buruh di industri pertambangan minyak bumi di Jakarta.
Kami sekeluarga yang terdiri dari ayahku, ibuku, dan aku, merupakan warga pedesaan dari
Sukabumi yang ber-urbanisasi menuju Kota Jakarta dengan harapan akan sukses dan kaya
raya di kota metropolitan ini. Tetapi apa daya, ekspektasi kami yang terlalu tinggi malah
membuat kami dikecewakan oleh realita hidup yang benar-benar pahit ini.
Di tengah suasana kelam pada malam hari itu di rumahku, kupandangi dari
kejauhan sesosok orang yang sedang berjalan kaki dengan jaket warna merah muda dan
kacamata berlensa bulat nya, ya sosok itu adalah Ani temanku yang sedang berjalan menuju
rumah kami. Tidak lama kemudian, terdengarlah suara ketukan pintu sebanyak 3x, disertai
dengan suara lembut yang selalu aku kenali, dan ia mencariku.
"Rini, kamu ada di dalam tidak?, tanyanya dengan nada sedikit keras
Akupun langsung bergegas menyambut Ani dengan penuh antusiasme. Kulihat
ayahku yang masuk dan menutup pintu kamarnya dengan rauh wajah penuh penyesalan.
Raut wajahku pun semakin bingung dan dalam benakku hanya terlintas satu pertanyaan,
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku dalam hati
Ani yang melihat ku melamun dari luar jendela rumah pun membuyarkan
lamunanku dengan mengetuk jendela rumah kami. Sontak ku sedikit terkejut dan ku
bukakan pintu untuknya, ia pun langsung duduk di sofa dan bertanya,

"Hei, cerita dong kalau ada masalah, jangan hanya dipendam saja, toh siapa tau aku bisa
membantumu.", katanya sambil menatap wajahku.
Aku pun bingung harus memberikan jawaban apa, perasaanku pun campur aduk
karena masalah ini. Sambil menghela napas, akhirnya ku ceritakan apa yang keluargaku
alami saat ini.
"Keluargaku sedang mengalami masalah ekonomi, gara-gara pandemi COVID-19 ini, Ni",
kataku dengan nada pelan.
"Hah! Kamu kenapa, kok gak cerita ke aku dari tadi?", tanyanya dengan penuh keheranan.
"Jadi gini Ni, ayahku itu baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai buruh, dan ibuku pada
saat ini sedang dirawat di Rumah Sakit Tambun karena terkena COVID-19.",
ucapku dengan nada pelan
"Hah! kok aku gak pernah diceritain sih?, tanyanya dengan bingung.
"Ya memang aku belum cerita ke siapapun Ni, biar yang lain gak ada beban pikiran juga.",
ucapku.
Ku terdiam sejenak, kupandangi wajah Ani yang syok dan terdiam setelah
mendengar masalah yang sedang kualami ini. Sesekali dia menatap wajahku dengan kesan
penuh ketidakpercayaan. Malam itu, suasana perbincangan kami berubah menjadi hening
penuh keputusasaan. Hujan turun dengan sangat deras, disertai dengan angina yang
berhembus kencang pada malam hari itu. Setelah itu kami perbincangan berdua diselimuti
dengan keheningan karena masing-masing dari kami saling berdiam diri, sambil
memandangi tetesan air hujan yang terus berjatuhan dari langit yang penuh kegelapan
dengan sedikit pancaran sinar dari bintang-bintang di angkasa.
Sesekali, kami saling berpandangan, dan entah pada pandangan yang kesekian
kalinya, Ani menepuk pundakku sambil berkata,

"Sabar ya Rin, aku tau kok kamu lagi susah, tetap semangat ya, dan percaya aja kalau
Tuhan pasti akan selalu membantu dan menyertai kita.", katanya dengan penuh harapan
Kutatap jelas raut wajahnya yang yang mengucapkan kata-kata ituy dengan penuh
ketulusan. Dalam benakku terpikir bahwa Ani memang adalah sosok yang perhatian, ia
dapat menempatkan diri seolah berada di posisiku yang penuh dengan keputusasaan ini.
Pada saat itu juga, aku merasa bahagia dan kupleuk dia sambil berucap,
"Terima kasih ya Ni, kamu sangat membantuku disaat aku sedang dalam situasi yang sulit
seperti ini,",
"Terima kasih ya, karena kamu mau membantuku untuk keluar dari rasa keputusasaan yang
sudah menguasai batinku ini.", ucapku dengan suara yang pelan
"Ya, memang itulah gunanya seorang teman, lagipula kita kan sudah berteman sejak lama
sekali, bahkan aku pun sudah menganggapmu layaknya suadarku sendiri.", ucapnya sambil
memandangi kedua mataku.
Aku pun terdiam sejenak sambil melamun. Tak terasa, waktu pun sudah
menunjukkan pukul 23.49 di jam tanganku yang sedang kugenggam ini. Perbincangan kami
pada malam itu semakin menyadarkan diriku bahwa teman sejati adalah teman yang selalu
ada di sisi kita, baik dalam kondisi senang maupun susah. Rasa kantuk semakin terasa
dalam kepalaku dan mataku pun mulai terpejam beberapa kali. Akhinya aku pun meminta
Ani untuk pulang karena waktu yang sudah menunjukkan pukul 23.56. Ia pun menangguk
sambil berkata,
"Baiklah, tetapi tunggu dulu aku mau duduk di sini sebentar.", ucapnya dengan nada pelan
Tak lama kemudian, datanglah sebuah mobil pajero berwarna putih yang suaranya
benar-benar keras sampai mengejutkanku. Ani pun berpamitan denganku. Memang Ani ini
adalah seorang yang hidup dalam keluarga yang sangat kaya raya, ayahnya adalah seorang
pengusaha sukses. Tetapi, walaupun hidup dalam keadaan yang sangat berkecukupan, ia

masih mau menjadi temanku yang notabenenya, aku ini adalah seorang yang hidup dalam
keluarga yang berkekurangan dari segi ekonomi.
Nyatanya, orang-orang, khusunya remaja-remaja di zaman ini memilih teman
merek berdasarkan harta dan status social, memang itu adalah suatu hal yang belum pernah
terjadi di generasi sebelumnya. Tetapi, inilah realita yang pahit. Hidup itu penuh dengan
masalah dan ketika kita tumbuh dewasa, kita semakin sadar bahwa masalah itu akan selalu
ada, dan kita mempunyai dua pilihan atas suatu masalah yang kita alami. Pertama kita bisa
memilih untuk lari dari masalah itu, memang hal ini terkesan tidak mungkin untuk
dilakukan, tetapi inilah realita yang ada dalam hidup yang keras ini, contoh nyatanya adalah
pemimpin-pemimpin yang hanya mengambil gajinya saja, tanpa mau berusaha sedikitpun,
istilah ini dinamakan gaji buta. Pilihan kedua adalah menghadapi dan berdamai dengan
masalah itu, memang hal ini sangat berat untuk dilakukan, tetapi lama-kelamaan kita akan
sadar bahwa inilah pilihan yang terbaik.
Akupun terbangun dari tidurku pada malam itu, kulihat jam di tanganku sudah
menunjukkan pukul 07.18 WIB. Semangatku pun menggelegar dan mendominasi batinku.
Dengan penuh antusiasme, ku bergegas menuju ke halaman teras rumah untuk berbicara
dengan ayahku, sambil mengharapkan bahwa aku bisa memotivasinya dan mendorongnya
untuk keluar dari situasi sulit ini.
"Pagi yah", ucapku dengan penuh semangat
"Ada apa nak? Kenapa kamu semangat sekali pada hari ini?"
"Yah, tetap semangat ya, kita pasti bisa kok keluar dari masalah ini, percaya aja yah kalau
Tuhan pasti akan membantu kita dan tidak akan meninggalkan kita.", ucapku dengan nada
yang penuh kelemahlembutan.
"Wah, ada apa ini? Sepertinya kamu semangat sekali?" Tanya ayahku dengan penuh rasa
penasaran.

"Aku baru mendapat pencerahan yah, hidup itu memang sulit, tetapi kita tidak boleh lari
dari masalah, kita pasti bisa menyelesaikannya kok yah."
Ayahku pun terdiam dan ia pun akhirnya menyadari bahwa ia tidak bisa lagi
berputus asa dan lari dari masalah ini. Singkat cerita, kami pun semakin berusaha untuk
mendorong rasa putus asa ini untuk keluar dari dalam keluarga kami. Dan tak lama setelah
itu, kurang lebih 1 bulan lamanya, ayahku mendapatkan pekerjaan sebagai penjual baju di
online shop tokopedia. Ibukku pun pada akhirnya berhasil berjuang dan memenangkan
pertarungan atas virus COVID-19 Omicron. Kami pun kembali menjadi keluarga yang
harmonis dan penuh kebahagiaan ini. Dan saya tahu bahwa ini tidak lepas dari peran teman
saya, Ani yang sudah memberi motivasi dan semangat kepada saya pada malam hari itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun