Mohon tunggu...
Dewi eF
Dewi eF Mohon Tunggu... Pelajar/mahasiswi -

hanya seorang mahasiswa yang ingin berbagi sedikit yang ia dapat dari bangku kuliah hari ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setiap yang Lahir Berhak Hidup Lebih Baik

5 Maret 2017   22:02 Diperbarui: 5 Maret 2017   22:49 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

sejenak setelah sholad maghrib hari ini, tiba tiba saja ada beberapa memori lama yang muncul kembali. mirip seperti film layar lebar, cerita tentang zaman jahiliyah dalam hidup yang tidak akan mungkin bisa dipungkiri namun setiap orang wajib meninggalkanya untuk kehidupan yang lebih baik. inilah yang saya sebut sebagai kenangan. setiap orang memiliki cerita, tentang tawanya, kecewanya dan mungkin ada asal usul untuk setiap air mata, tapi sungguh tidak adil bagi setiap kehidupan jika ia tidak dihargai dengan menyia nyiakanya ditelan masa lalu. sering kali kehidupan baru menjadi rusak, sampai sampai hancur tidak terselamatkan hanya karena satu nama yang terucap kembali dalam keluarga kecil. Bahkan sesuatu yang saya sebut kenangan itu terkadang mampu menarik kuat diri dan fikiran seolah kembali lagi pada tempat itu, waktu itu, atau orang itu.

sebenarnya ini tentang fakta yang ada dalam kehidupan pribadi setiap mereka yang memiliki kenangan dan masih menyebutnya sebagai kenangan. ada beberapa dari orang tua yang tidak bisa memisahkan ini (kenangan) dengan kehidupan barunya, bahkan tanpa malu malu menceritakan orang dimasa lalu pada anak. saya rasa bukanlah hal yang etis jika orang spesdial dimasa lalu masih disebut sebut dalam kehidupan baru apa lagi sampai diceritakan pada anak. Banyak dari kalangan ibu ibu yang tanpa sengaja saya tau sedang asyik curhat dengan putrinya yang beranjak dewasa tentang orang spesial dimasa lalu, dengan tujuan memberikan pengalaman melalui cerita sang ibu. saya setuju sangat setuju jika memang setiap orang tua berharap kehidupan yang lebih baik untuk anak anak nya, namun tidak setiap pengalaman orang tua bisa dijadikan pelajaran bagi anak. syukur syukur jika bisa diterima demikian, namun sayangnya tidak dapat dipungkiri jika setiap anak memiliki masanya sendiri dan hal ini berpengaruh pula terhadap pola pemikiranya. jika seorang ibu masih membawa nama orang spesial dimasa lalu maka tidak menutup kemungkinan juga anak akan menilai buruk, beranggapan bahwa ibunya tidak bahagia bersama ayahnya, atau ibunya bukan wanita setia dan sebagainya.

tindak tanduk seorang ibu adalah contoh real yang dilihat anak yang secara tidak langsung akan dicontoh oleh anak dalam proses kehidupanya. maka sangat disayangkan tingkah sok muda yang sering terlihat pada ibu ibu sosialita yang beranggapan bahwa mengikuti tren adalah hal yang penting. banyak dalih yang dijadikan alasan untuk membenarkan sikap para ibu ibu trendi masa kini, salah satunya adalah silaturahmi, karenanya hanya dengan satu kata ini para ibu ibu bebas kesana kesini untuk reuni dengan teman SD, SMP, SMA sampai reuni teman kuliah. inikah model sosok panutan, sekolah awal bagi setiap mereka yang dilahirkan, memang setiap anak berhak menerima kehidupan yang lebih baik dari orang orang sebelumnya, namun perbaikan ini tidak akan pernah kesampaian  hanya dengan ibu ibu modal tren kekinian, atau ahli sosial media. jadi teringat kata kata salah satu dosen saya yang kece, beliau mengatakan apa yang kita keluarkan adalah apa yang kita makan, tidak akan mungkin sesuatu itu ada dalam diri kita namun tidak pernah kita masukan. seperti halnya ilmu, tidak akan menjadi sesuatu yang bermanfaat jika tidak kamu sampaikan, namun apa yang kamu sampaikan tidak akan pernah ada tanpa adanya kamu yang memasukan dalam dirimu. jika dilihat dari kata kata ini maka jelas saja remaja, anak anak, sampai dewasa saat ini lebih sibuk dengan benda kecil yang ada ditanganya, yang katanya mampu membawa setiap orang keliling dunia, namun menjadikan dia lupa dengan keadaanya yang sebenarnya bahkan lupa dimana ia sedang berpijak sibuk mengorek kehidupan orang lain namun lupa dengan kewajiban diri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun