Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Surga dan Pesta Seks

19 Juli 2017   08:56 Diperbarui: 19 Juli 2017   16:33 6364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang penceramah agama tersandung persoalan karena pernyataannya yang menyebutkan bahwa salah satu kenikmatan surga adalah pesta seks. Tidak membutuhkan waktu lama, kontroversi pun muncul. Dan akhirnya si penceramah menyampaikan permintaan maaf.

Terlepas dari  kontroversi tersebut, surga dan perilaku seksual memang menjadi tema yang terus diperdebatkan. Dalam beberapa narasi keagamaan, kenikmatan seksual memang disebutkan bersanding dengan penjelasan deskriptif tentang surga. Tetapi deskripsi tersebut dalam penafsiran lugasnya sering berbenturan dengan konstruksi kognitif berkenaan dengan pelaksanaan sikap-sikap asetik "pengendalian diri" yang juga menjadi tema-tema  sentral agama.

 Sehingga  sebagai akibat logisnya muncul pertanyaan "Mengapa di surga justru diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang di dunia?". Kelogisan yang tampak logis karena jika dicermati,  kelogisan yang muncul karena menggunakan pengalaman  di dunia untuk menjelaskan detail  "pengalaman" transenden sebenarnya kehilangan makna kelogisannya.

Tulisan ini akan membahas legitimasi filosofis narasi sosial (beserta dialektika di dalamnya) mengenai surga dan pengalaman seksual. Sayangnya tulisan ini tidak akan memberikan contoh penafsiran dari sisi teologi agama, terutama agama si penceramah karena keputusan seperti itu akan menuntut penulis untuk memberikan penjelasan teologi terkait pandangan dan aliran teologi.

Dan hal tersebut  tidak bisa disampaikan secara singkat karena akan memunculkan efek reduksionisme yang tidak pantas. Singkat katanya tulisan ini tidak membahas teologi, tetapi struktur filosofis konsep surga sebagai kepanjangan konsep pembalasan dalam konsep kekekalan.  

 Tidak disangsikan lagi konsep surga adalah tema penting dalam agama sebagai kepanjangan konsep pembalasan. Perbuatan baik di dunia akan dibalas dengan kebaikan (surga) dan perbuatan buruk di dunia akan mendapatkan pembalasannya berupa keburukan (neraka).

Sebagai sedikit catatan tambahan, sejauh  mana eksternalisme dipahami dalam menentukan konsep ketuhanan dan penciptaan secara analitis juga akan mempengaruhi pendeskripsian perseptual surga dan neraka. Sama halnya dengan tema-tema dialektik teologis seperti  problematika kemahakuasaan.

 Surga digambarkan sebagai  bagian dari keabadian yang menjadi atribut episentral dari konsep ketuhanan  monoteistik apakah itu ekternalistik atau interior. Sebagai sesuatu yang abadi jelas surga adalah konsep  yang  transenden karena dalam wilayah imanen fisik, tidak ada wujud yang abadi. Bahkan teologi mainstream menyebut bahwa alam semesta juga tidak abadi, tentu saja dengan pengecualian untuk teologi neoplatonisme yang secara koheren harus menempatkan keabadian alam semesta sebagai akibat logis dari konsep emanasi mereka yang interior.

Kehidupan di dunia ini adalah kehidupan  terikat atau meminjam istilah neoplatonik, contingent existant. Dalam keterikatannya tersebut kehidupan di dunia akan selalu bersanding dengan kematian sebagai sebuah akhir dari eksistensi. Sedangkan di surga, kehidupan, jika  bisa dikatakan seperti itu, adalah kekal dan tidak memiliki atribut contingent.

Sehingga sebenarnya dalam pengertiannya yang tepat, kehidupan seperti itu (kekal, abadi, tidak terikat hukum kausalitas, tidak menampilkan perubahan karena hukum kausalitas) tidak bisa disamakan dengan kehidupan dunia. Transenden tidak sama dengan imanen, bahkan dalam pandangan interior sekalipun, wujud setelah wujud tidaklah sama, meskipun ada hubungannya karena kekekalan substansi (oleh sebab itu neoplatonis menolak kebangkitan wujud fisik (korporeal) karena ketidaklogisan pengulangan).

Jadi ketika menjelaskan  surga, sebenarnya kita harus menemukan kata lain lagi yang mewakili "kehidupan" di surga karena hidup tanpa ada kematian itu bukan hidup. Jika pernyataan ini menjadi aksioma, maka segala sesuatu detail deskriptif tentang surga membutuhkan kata baru atau selama tidak dilakukan langkah itu, maka harus diberikan tanda (tanda kutip) untuk membawa maknanya dekat dengan pemaknaannya yang seharusnya. Dan yang sebaliknya  adalah tidak pas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun