Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa yang Seharusnya "Beragama", Kita atau Ulama?

18 Oktober 2016   09:12 Diperbarui: 18 Oktober 2016   09:20 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Efek dari isu penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubenur Jakarta tidak urung merembes ke mana-mana sebagai kepanjangan dari kesensitifitasan subyek yang dibahas. Di permukaan, agama memang memiliki aspek eksklusifitas dan dialektika terhadapnya sering dianggap sebagai pelanggaran atas aspek ini meskipun di relung-relung kedalaman kesadaran dialektika yang terdalam agama tidak bisa lepas dari kegelisahan yang dialami oleh individu atau kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari dinamika perkembangan jaman.

Dari awalnya agama biasanya bermula dari pencarian subyektif terhadap kebenaran tetapi seiring perkembangan evolusi sosial yang menyertainya tidak jarang agama menampilkan keteraturan organisasi dan keteraturan organisasi tersebut berjalan linear dengan pola-pola interaksi yang saling menguntungkan dengan kekuasaan politik. Struktur inilah yang kemudian memunculkan istilah organized religion.

Dalam atmosfer organized religionilmu agama biasanya bersifat derivatif, turunan dari satu sumber yang kekuatan validitasnya bukan terletak pada metodologi keilmuannya tetapi lebih pada legitimasi yang terbentuk karena interaksinya dengan kekuasaan, dan ditujukan untuk mempertahankan doktrin yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan politik.

Dalam atmosfer seperti ini, agama tidak begitu membutuhkan validitas epistemologi metafisik dengan satu-satunya pengecualian yang bisa disematkan pada kekuasaan yang memberikan akses yang luas terhadap perkembangan keilmuan seperti masa kekhalifahan abasiyah awal terutama pada pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid dimana house of wisdommenjadi mercusuar keilmuan saat itu.

Tetapi yang patut dicermati dan menjadi hal yang menarik karena kemunculannya kembali dalam konteks kontemporer, validitas epistemologi metafisik juga bisa melahirkan doktrin atas nama rasionalitas seperti tercermin dari sikap teolog mutazila pada masa khalifah Al Ma’mun dengan kejadian mihna atau penyelidikan atau berkembangnya averroisme di benua Eropa yang menjadi latar belakang peristiwa condemnation 1210-1277oleh otoritas gereja Paris.

Tetapi tentu saja dalam filsafat kemandirian ibnu Ruysd kita bisa membaca bahwa dalam kemandiriannya sebagai wujud terikat (contingent existent) setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk beragama, untuk mengetahui benar-benar makna beragama dengan menjadi seorang pemikir yang berkewajiban untuk mengeksploitasi anugerah Tuhan yang hanya diberikan pada manusia, akal.

Pesan kuat yang bisa terbaca juga pada tulisan Ibnu Tufail hayy ibn yaqdhan yang di barat dikenal dengan nama philosophus autodidactus,sebuah teks dari dunia Arab Islam yang paling banyak diterjemahkan di barat setelah Al Qur’an dan kisah seribu satu malam. Sebuah teks yang menghebohkan dunia keilmuan barat pada saat itu yang menjadi fokus perhatian serius bahkan untuk nama-nama seperti John Locke, Spinoza dan Leibniz. Kabarnya begitu antusiasnya Leibniz sampai-sampai dia berpergian ke Jerman dua kali hanya untuk teks ini dan John Locke berinisiatif untuk mengadakan diskusi untuk membahas keaslian ide pemikirannya .

Tetapi sayang sambutan di dunia Islam sendiri tidak seantusias mereka yang ada di dunia barat yang ketika itu sedang mengalami masa pencerahan yang dipicu oleh kebangkitan kembali filsafat helenistik karena pemikiran seorang penafsir brilian beragama Islam yang hidup di Andalusia, Ibnu Ruysd. Kekalahan tahafut al tahafut terhadap tahafut al falasifa memang semakin menegaskan mekanisme derivatif pada struktur transfer keilmuan agama yang berlanjut sampai saat ini meskipun isi tahafut al tahafut tidak bisa dipahami dengan sederhana sehingga patut disalahkan atas terbentuknya mekanisme derivatif lugas seperti itu.

Tetapi dinamika jaman seperti membuka gerbang kembali dan memberikan tempat pada pentingnya kemandirian perseorangan untuk menjalani hidup beragama. Agama yang dipenuhi doktrin untuk mempertahankan benteng organized religion-nya tampak mulai tidak mampu memenuhi kegairahan intelektual yang dengan sendirinya lahir dan harus terus diasuh dan diasah oleh masyarakat yang ingin terus menampilkan atribut-atribut ilmu pengetahuan.

Posisi otoritatif organisasi agama pun seakan tidak mampu membendung kegairahan yang mulai membara kembali sebagai akibat inheren dari perkembangan ilmu pengetahuan dan konsep-konsep kebenaran positifistik yang menyertainya. Sehingga sebagai akibat logisnya ulama yang memandang diri mereka memiliki tanggungjawab mempertahankan doktrin atas nama seluruh umat, disibukkan dengan pembuatan fatwa haram dan sesat. Tetapi di sisi lain banyak ulama mulai melibatkan diri mereka dalam pergelutan dialektik untuk memaknai kembali organized religions,terutama dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara dalam masyarakat yang plural.

Dalam prakteknya, tidak jarang keputusan ulama teredam begitu saja oleh nalar publik karena demokrasi dengan sendirinya akan menciptakan ruang publik sebagai sarana pengujian setiap keputusan. Beragama menjadi semakin bersifat subyektif dan keteraturannya hanya terjaga pada wilayah-wilayah ritual saja. Semakin banyak individu dari kelas menengah terdidik yang mulai menyembuhkan kegelisahan mereka dengan mencari kegairahan tiada henti yang disebut eternal pashion oleh Soren Kierkegaard dalam kritiknya terhadap keabsolutan obyektif doktrin gereja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun