Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Optimisme (Naif?) Dualisme Ujang Bandung

8 Juli 2016   18:14 Diperbarui: 8 Juli 2016   18:26 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pergelutan filosofis sulit melepaskan darinya dari perselisihan rasionalisme dan empirisme. Singkat katanya, rasionalisme masih memasukkan elemen a prioridalam wujud pengetahuan awal (innate knowledge) dalam proses berpikir sedangkan empirisme menyandarkan semua detail dalam proses berpikir pada pengalaman inderawi yang bersifat posteriori.

Dalam strukturnya, rasionalisme akan mengakomodasi konsep hati (atau jiwa) yang lepas dari pengalaman inderawi. Sebagai akibatnya hati akan menempati posisi penting dalam bentuk interaksi dengan apa yang ditangkap oleh indera dan diproses dalam sistem kognitif. Hubungan interaksi ini sering disebut dualisme mind and body di mana mind(hati) dan body(akal dalam pengertian kognitif) memiliki perbedaan wujud.

Interaksi dualisme mind and body menunjukan struktur yang bisa dipertahankan oleh rasionalis karena tidak ada keharusan untuk menjelaskan struktur a prioridari pengetahuan awal. Memahami yang a priorihanya sebagai elemen dalam dualisme interaktis menempatkan rasionalisme berbeda dengan mistisisme sehingga perselisihannya dengan empirisme atau hubungan monis antaradua entitas tersebut masih menampilkan gambaran strukturnya.

Tetapi dualisme yang ditawarkan oleh saudara Ujang Bandung sama sekali tidak menyentuh konsep rasionalisme di atas. Klaim bahwa hati bisa melakukan fungsi aktif di luar interaksi dengan proses kognitif membuat klaim tersebut terdengar optimis. Keoptimisan saudara Ujang Bandung untuk membawa konsep hati ke tingkat selanjutnya di mana hati bisa mengambil keputusan dan keputusan yang diambil oleh hati dianggap lebih baik dari keputusan dari proses kognitif.

Tidak ada yang salah dengan keoptimisan. Tetapi tentu saja sebuah klaim harus siap dengan pertahanan logisnya kecuali jika klaim ini pada ujungnya akan bersembunyi di balik doktrin-doktrin metafisik tentang pengetahuan Ilahi yang tidak bisa terakses oleh pengetahuan manusia. Selama ini saudara Ujang Bandung tidak bersembunyi di balik misteri Ilahi dan oleh sebab itu kenaifan (kurangnya kehati-hatian dan kecermatan dalam penilaian) bisa disematkan pada klaimnya.

Katakanlah seseorang akan menikah. Saudara Ujang akan mengatakan bahwa keputusan itu bisa berasal dari dua proses, yaitu proses kognitif dan proses berpikir hati. Karena proses kognitif terikat pada pengalaman yang bersifat posteriorimaka serumit apa pun keputusan itu untuk mengantisipasi potensi persoalan di masa depan, keputusan semacam ini berada di bawah keputusan hati yang metafisik (saya tidak menggunakan entitas a priori karena dalam dualisme ini berpikir hati adalah proses lain).

Bagi saudara Ujang Bandung , keputusan yang paling baik adalah keputusan hati yang tidak akan pernah rumit dan njlimet karena sifat lahiriah hati. Tunggu dulu, bukankah hati di sini adalah entitas metafisik? Ya kita anggap seperti itu kecuali jika saudara Ujang Bandung bisa membuktikan letak fisiologis berpikir hati ini.

Jadi keputusan yang rumit untuk mempertimbangkan berbagai macam faktor yang memiliki potensi mempengaruhi jalannya pernikahan tersebut dikalahkan oleh keputusan berpikir hati yang straight to the point.Tetapi bukankah keputusan berpikir hati itu metafisik dan metafisik itu di luar wujud nyata? Bukankah wujud seperti ini sulit memperoleh gambaran jelas struktur kebenarannya? Di sinilah letak kenaifan dualisme Ujang Bandung.

Untuk menutupi kenaifan struktur tersebut, saudara Ujang Bandung memiliki senjata pertahanan yang menurut dia ampuh, petunjuk Tuhan. Tetapi tanpa sadar ketika saudara Ujang Bandung mulai menggunakan kata-kata Tuhan, dia sudah melompat ke mistisisme. Dan tidak perlu membutuhkan pengetahuan filsafat yang lanjut untuk memahami bahwa mistisisme itu tidak demonstratif dan bersifat subyektif.

Sehingga ketika saudara Ujang Bandung melompat ke mistisisme untuk mencari alasan rasional keputusan berpikir hati, dia semakin tidak rasional dan tidak logis. Dan lompatan ini menunjukan kenaifan lain filsafat dualisme ini karena mistisisme tidak membutuhkan penjelasaan.

Pada akhirnya penulis memang ingin memahami saudara Ujang Bandung sebagai seorang mistis, bukan rasionalis karena tidak adanya ruang untuk menjelaskan secara terstruktur dualisme (naif)nya. Dan kepraktisan penerapan dualisme ini sangat berbahaya karena menempatkan keputusan hati yang bersifat subyektif dan tidak bisa dijlaskan strukturnya berada di atas keputusan berpikir kognitif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun