Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik Terhadap Ikhlas (Bagian 2)

5 Agustus 2015   09:06 Diperbarui: 5 Agustus 2015   09:06 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk sedikit mengingatkan problematika ikhlas seperti yang disampaikan di artikel sebelumnya, artikel lanjutan ini akan dimulai dengan membahas definisi terminologi ikhlas dan problematika singkatnya. Dalam KBBI ikhlas diartikan sebagai hati yang bersih dan ketulusan. Ikhlas sering diposisikan berlawanan dengan pamrih yang dalam perjalanan etimologinya semakin mendapatkan makna negatif sebagai maksud tersembunyi atau kepentingan pribadi.

Dari kisah singkat yang ditampilkan pada artikel sebelumnya juga bisa dipahami bahwa ikhlas bisa memiliki perbedaan pemaknaan karena terpengaruh oleh pengalaman kultural dan sosial. Sebuah pernyataan yang membawa perkembangan dialektika ke arah spekulatif yang mempertanyakan keabsolutan prinsip moral tertinggi atau mengkritik pengambilan kesimpulan metafisik terlalu cepat terkait prinsip moral tertinggi karena pengalaman kultural dan sosial akan memunculkan relatifisme deskriptif.

Lalu mengapa ikhlas masih menjadi prinsip moral tertinggi seperti bisa tercermin dalam kampanye-kampanye moral oleh agen-agennya yang melekatkan diri mereka tentu saja pada keharusan untuk menampilkan atribut moral tertinggi?

Salah satu jawabannya adalah orientasi metafisik anggota komunitas sosial. Orientasi metafisik bisa dideskripsikan sebagai arah yang ingin dicapai dalam mencapai keidealan metafisik atau kecenderungan yang tampak dalam memaknai kehidupan diluar pengalaman fisik dan masuk dalam wilayah ide. Orientasi metafisik yang cenderung mengabaikan pengalaman empiris untuk mencapai bentuk ideal metafisik akan memilih jalan yang melintasi padang terbuka bernama “indahnya impian ideal metafisik”. Sedangkan orientasi metafisik sebaliknya akan memilih jalan menerobos hutan bernama “kesulitan spekulatif dan relatifistik pengalaman empirik.”

Tidak semua padang terbuka menawarkan kejelasan karena bisa saja kepastian yang ditawarkannya hanyalah kerudung penutup dari ketidakjelasan atau keindahan yang ditawarkannya bisa saja membuat orang terlena dan tidak pernah sampai pada tujuannya. Tetapi hutan jelas menawarkan kesulitan dan kesulitan yang akan memicu dan memacu upaya dan sumber daya untuk mencari isyarat jalan mana yang benar untuk mencapai tujuan.

Budaya timur dengan ciri teologinya masih memilih jalan menuju ke padang terbuka ini. Keikhlasan menjadi atribut dari kampanye moral yang dilakukan baik melalui pendidikan moral formal dan informal. Keikhlasan masih menjadi bintang panggung yang suaranya dan penampilannya memukau yang hadir. Terpukau memang menjadi pilihan dan terlena dalam keindahan adalah konsekuensinya (yang dipilih oleh sebagian besar anggotanya?).

Budaya barat tampaknya tidak konsisten dengan prinsip keikhlasan. Pernah menjadi prinsip moral tertinggi seperti dibahas oleh Aristoteles dalam Nicomachean ethics dan mencapai puncak momentumnya selama aperiode romantis, tampaknya keikhlasan tidak lagi menikmati kenyamanannya sebagai satu-satunya prinsip moral tertinggi setelah gelombang pemikiran eksistensialis melanda peradaban barat disertai dengan konsep-konsep kontemporer seperti psikoanalisa dan dekonstruksionisme. Ketidakkonsistensian atau kedinamisan yang membawa Lionel Trilling mengelaborasi keikhlasan dan membandingkannya dengan keotentikan.

Persoalan yang melekat pada keikhlasan sebagai prinsip moral tertinggi adalah kecenderungan dan kedekatannya dengan anti realisme. Jika seseorang dibesarkan dan dididik dalam komunitas yang menjunjung tinggi kepemilikan properti sebagai realita, tentu saja aneh jika seseorang tersebut harus menampilkan atribut keikhlasan untuk melepas properti sebagai perwujudan dari nilai moral tertinggi yang dianut oleh komunitas yang sama yang menjunjung tinggi kepemilikan properti. Pendukung keikhlasan tentu saja membutuhkan penjelasan lain untuk menyangkal anti realisme ketika dihadapkan pada kondisi sosial ini, sebuah penjelasan obyektif yang tentu saja harus didasarkan pada pengalaman empiris individual.

Ketegangan antara realita sosial dan prinsip moral tertinggi akan menciptakan ketidaksesuaian (persoalan koherensi logis) antara realita dengan prinsip moral. Dan jika prinsip moral tidak bisa dibuktikan secara logis dan hanya meminjam kekuatannya pada definisi metafisik yang belum sembuh dari wabah ketidakakuratan karena bertentangan dengan struktur empiris sosial, maka yang muncul adalah nihilisme terselubung. Alasan ini lah yang sebenarnya menjadi pendorong bagi pendukung gerakan moral absolut metafisik untuk memberikan penjelasan mengenai struktur keikhlasan, bukan justru terlena dan terhanyut pada kampanye romantis.

Persoalan lainnya justru berasal dari apa yang diklaim menjadi kekuatan keikhlasan. Kekuasaan deitas. Kampanye-kampanye keikhlasan sering menampilkan pernyataan atributif “Ikhlas karena Tuhan”. Karena seringnya pernyataan ini disampaikan dalam kampanye moral yang memilih jalan di “padang terbuka”, pernyataan ini seakan-akan memiliki kebenarannya. Benar sebenar-benarnya, an sich. Hubungan simbiosis mutualisme bisa terlihat dari upaya aktif (sayangnya bukan konstruktif) untuk menciptakan konsep moral tertinggi dengan konsep ketuhanan yang didominasi dengan doktrin kebenaran korespondensif untuk wilayah metafisik transenden deitas.

Katakan lah ada seorang guru yang bertanya alasan mengapa seorang siswa belajar dengan tekun. Setelah mendapatkan jawaban “Karena ayah.” guru yang sama memiliki dua pilihan. Pertama, mengambil kesimpulan awal (atau bisa dideskripsikan prematur) bahwa semua ayah pasti bangga jika anaknya memiliki nilai baik dan mendapatkan ranking teratas, berhenti hanya pada kesimpulan tersebut dan menganggap bahwa kesimpulan tersebut adalah kebenaran pada dirinya (things in themselves) . Atau bertanya kembali untuk memperoleh atribut lain dari ayah sebagai upaya untuk memperoleh kejelasan karena pemosisian ayah sebagai fenomena bukan noumena dengan kebenaran pada dirinya (things in themselves), seperti “Apakah ayahmu ingin kamu memiliki nilai baik dan mendapatkan ranking teratas?”. Dan tentu saja jika jawaban si siswa adalah “Bukan”, guru itu akan kembali bertanya “Lalu apa?”. Dan dialektika untuk memahami fenomena akan terbentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun