Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kesesatan Berpikir dalam Memahami Vonis Jessica

31 Oktober 2016   07:20 Diperbarui: 31 Oktober 2016   19:28 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO

Artikel ini akan membahas secara singkat persoalan-persoalan validitas epistemologi tulisan yang ditanggapi oleh tulisan ini. Sehingga lebih baik jika pembaca mengunjungi terlebih dahulu tulisan rekan dialektika ini meskipun itu bukan sebuah keharusan karena penulis akan mencoba menyampaikan tulisan ini sedemikiran rupa sehingga pembaca tidak perlu membaca tulisan rekan ini dengan risiko kedalaman pemahaman yang secara inheren melekat pada cara tersebut.

Persidangan Jessica sudah mencapai pembacaan vonis dan seperti diketahui bersama Jessica divonis bersalah dengan hukuman penjara 20 tahun. Tetapi vonis tersebut tidak meredakan kontroversi kasus ini yang tetap menampilkan persepsi yang terbelah menjadi dua. Keheranan yang muncul ketika menangkap fenomena penyederhanan kasus ini dengan menggunakan epistemologi tertentu tentunya adalah suatu yang wajar yang secara empiris sudah terbukti dari dikotomi persepsi tersebut. Dan tulisan ini memang bukan untuk para reduksionis.

Jadi bagaimana memahami persoalan dalam vonis Jessica ini? Apakah melalui penggunaan dikotomi juga? Apakah dari poin ini penggunaan dikotomi konflik rasionalisme melawan empirisme seperti mendapatkan legitimasi epistemologinya? Benarkah atau justru menjadi pendekatan yang gegabah dan menampilkan struktur berpikir yang melekat padanya kekeliruan fatal sehingga dalam beberapa intensitas bisa disebut kesesatan?

Rasionalisme vs empirisme adalah konflik lama dalam dunia filsafat. Singkat katanya, rasionalisme adalah konsep berpikir yang mengedepankan penalaran dalam memperoleh pengetahuan yang di dalamnya terdapat pengetahuan awal (innate knowledge) sedangkan empirisme hanya menyandarkan pemerolehan pengetahuan melalui pengalaman. Sering kali kata apriori yang berarti lepas dari pengalaman disematkan pada rasionalisme sedangkan posteriori yang berarti pengalaman disematkan pada empirisme.

Penghancuran konflik ini oleh Imannuel Kant tidak disampaikan di sini karena pandangan kantian akan menampilkan sesuatu yang baru. Dengan kata lain, validitas hipotesis pertama tulisan ini “mengabaikan” pandangan kantian meskipun kata “mengabaikan” di sini justru akan membelokkan arah pembahasannya pada legitimasi dikotomi tersebut yang sudah dinegasikan oleh Imannuel Kant.

Dikotomi diselesaikan dengan dikotomi tampak terlihat sebagai penalaran yang bagus. Sebelum membahas legitimasinya terlebih dahulu tampaknya lebih baik jika memberikan analogi untuk memahami rasionalisme dan empirisme. Katakanlah ada dua orang anak kecil berada di taman. Datang seorang anak lagi. Sehingga jumlah anak yang berada di taman tersebut “dengan sendirinya” dan tanpa harus bersandar pada pengalaman empiris menjadi tiga. Tiba-tiba langit mendung dan segera hujan rintik-rintik jatuh. Ketiga anak kecil tersebut segera berlindung pada sebuan pohon rindang. Yang muncul di sini yang tidak membutuhkan bingkai pengetahuan empiris adalah hubungan sebab-akibat.

Jadi yang berperan sebagai sumber awal pengetahuan di mana pengetahuan tertentu kemudian dideduksi darinya adalah matematika dan sebab-akibat bukan substansi dari entitas. Bukan apakah kedua anak kecil itu senang temannya datang atau apakah sebab mereka berlindung di bawah pohon adalah bahwa salah satu anak tersebut menderita flu di mana jika kebalikannya yang benar maka mereka justru akan bermain di bawah guyuran air hujan.

Sedangkan empirisme jelas menolak keberadaan sumber awal pengetahuan dan yang muncul kemudian adalah induksi bukan deduksi karena tidak adanya entitas apriori untuk menjadi tambatan deduksi.

Menerapkan logika rasionalisme dalam persidangan Jessica yang ditujukan untuk JPU dan majelis hakim mulai menampakkan kekeliruan berpikir karena toh jika ada hubungan apriori hubungan itu adalah pengetahuan awal yang katakanlah hukum matematika dan hubungan sebab-akibat, bukan substansi dari tindakan yang harus dipahami melalui pengalaman (posteriori).

Tetapi kekeliruan fatalnya bukan terletak di sini meskipun hal tersebut bisa disebut pemikiran yang gegabah dan nekat. Kekeliruan fatalnya adalah dikotomi rasionalisme vs empirisme tidak bisa membagi manusia sebagai spesies menjadi subspesies, rasionalis, dan empirisis. JPU dan majelis hakim adalah rasionalis, sedangkan pengacara adalah empirisis.

Konflik keduanya adalah untuk menentukan bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan. Jika rasionalis benar, tidak ada empirisis dan sebaliknya jika empirisis benar, rasionalis hanyalah klaim tanpa wujud dan harus tunduk pada tabula rasa. Das ding an sich. Tetapi persoalan ini terselesaikan oleh doktrin idealisme di mana semua yang ditangkap pikiran manusia dan menjadi ide adalah fenomena, bukan noumena, yang jika pembaca cermat, pembaca pasti teringat Nusron Wahid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun