Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jadi Kau Anggap Imanku Lemah?

14 April 2014   22:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Jadi kau anggap imanku lemah? Iya?”

“Bukan seperti itu. Ah kau membawanya ke persoalan iman.”

“Iya kan? Seperti mereka, kau juga menganggap imanku lemah?”

“Ah sudah lah aku tidak mau bertengkar gara-gara ini.”

Sejenak kemudian Sastro dan Bagus hanya diam. Tetapi dari sorot mata keduanya terlihat jelas kedua temanku ini mencoba mengendalikan emosi mereka, terutama Sastro yang merasa dituduh tidak beriman.

“Hmmmm semua gara-gara sumbangan itu. Ah sudahlah cuma sumbangan.” kataku pelan terpaksa menengahi.

Setelah menghela nafas panjang, Sastro menatapku dan berbicara, “Bagimu itu cuma sumbangan. Bagi kalian yang punya uang saku itu memang cuma sumbangan.” Kemudian sambil melirik Bagus, dia terus berkata, “Apalagi yang uang sakunya berlebih karena orang tuanya kaya raya. Ya….ya…itu memang sekedar sumbangan. Tapi bagi aku yang cuma punya uang untuk naik bus pulang ini, itu bukan sekedar sumbangan. Gila! Apa aku harus menyumbang hanya untuk menjaga keimananku kemudian aku pulang jalan kaki 10 km. Belum lagi di jalan kehujanan. Apa demi menjaga supaya keimananku tampak wah dimata mereka, aku harus menanggung sakit. Apalagi besok ada ujian.”

Dengan cepat Bagus mengangkat kepalanya. Matanya yang sudah cukup teduh mendadak kembali menatap tajam.

“Sudah…sudahlah.” kataku cepat bereaksi. Setelah sejenak diam aku terus berkata, “Ya…kau memang benar Tro. Itu memang bukan sekedar sumbangan. Kalau kotak sumbangan dibawa keliling didalam kelas dan tampak jelas siapa yang memberi dan siapa yang tidak, kau memang benar itu bukan sekedar sumbangan.”

“Maksudmu apa Wan?” tanya Bagus heran.

“Ketika sumbangan atau sedekah atau apa lah itu namanya dibawa ke ruang publik, maka itu bukan lagi sekedar sumbangan. Yang muncul kemudian adalah penghakiman publik dengan palu bernama keikhlasan yang akhirnya ya bermuara pada penghakiman iman.” jelasku.

“Dan yang sikapnya ragu-ragu dianggap tidak ikhlas dan yang tidak menyumbang langsung divonis tidak beriman. Itu-itu yang aku maksud.” kata Sastro menyambungku cepat.

“Penghakiman itu yang tidak benar. Dan seringkali selama berlangsungnya kegiatan-kegiatan ibadah amal masal, efek psikologis ini lah yang digunakan untuk mendapatkan sumbangan sebanyak-banyaknya. Biasanya didahului dengan konsep-konsep Ilahi bahwa kegelisahan atau keragu-raguan itu tanda atau benih dari ketidakimanan. Semakin banyak orang yang menyumbang karena pengaruh psikologis ini maka efek penghakiman ini semakin besar, sehingga seseorang bisa saja dibawa pada titik kehilangan kesadaran dan pertimbangan nalar yang seimbang. Kegelisahan harus dihilangkan dan keimanan seperti menekan saklar lampu.” Jelasku.

“Itu yang masih gelisah. Apalagi yang tidak menyumbang karena tidak membawa uang atau tidak memakai perhiasan. Rasa-rasanya mungkin langsung pingin pulang.” kata Sastro sambil tersenyum.

Entah mengapa Aku dan Bagus juga ikut tersenyum.

“Kok seperti menekan saklar lampu?” tanya Bagus sejenak kemudian.

“Ya…Kau tinggal mematikan sisi duniawimu dan menyalakan cahaya Ilahi dalam dirimu. Mudah kan. Seperti dua sisi dalam dirimu. Tinggal pilih saja. Dan dari konsep yang sederhana ini…hhmmm atau mungkin disederhanakan….tidak ada ruang untuk kegelisahan atau keraguan. Karena seperti yang aku bilang tadi kegelisahan adalah cermin dan benih dari lemahnya iman.” jelasku.

“Apa kegelisahan itu perlu?” tanya Sastro.

“Pasti ingat kisah Nabi Ibrahim yang terkenal itu kan?” tanyaku singkat.

“Ya…ya Nabi Ibrahim yang diperintah mengorbankan anaknya di puncak bukit dan kemudian anaknya diganti domba oleh Tuhan.” jawab Sastro.

“Bayangkan ketika Nabi Ibrahim diperintah mengorbankan anak yang sangat dicintainya. Aku ulangi lagi yang sangat dicintainya. Apakah menurutmu Nabi Ibrahim langsung begitu saja pergi ke atas bukit tanpa ada kegelisahan? Dan melakukan perintah itu atas nama iman yang tiba-tiba muncul? Tanpa kegelisahan?” tanyaku bertubi-tubi.

“Aneh jika beliau melakukannya seperti itu karena ya itu ……beliau pasti sangat menyayangi anaknya. Pasti muncul kegelisahan karena jika tidak maka itu tidak masuk akal. Dan jika benar tanpa kegelisahan maka itu tindakan yang serampangan di luar kesadaran nalar. Dan tentu saja kita tidak bisa menyebut tindakan serampangan seperti itu sebagai bentuk keimanan.” kata Bagus pelan.

“Proses….ya…proses. Keimanan itu membutuhkan proses dalam diri dan kegelisahan adalah bagian dari proses. Kegelisahan justru menunjukkan kemanusiaan kita dan perjuangan dan pergumulan kita untuk mengatasi dan mencari jawaban dari kegelisahan itu lah intinya. Bukan mematikan kegelisahan dan menganggap iman itu seperti saklar lampu.” kata Sastro melanjutkan.

Kemudian kami bertiga diam saja membiarkan angin membelai rambut kami. Awan yang membawa titik-titik hujan dari utara mulai datang bergerombol. Jalanan di depan kami semakin ramai. Siang pun mulai merangkak mendekati sore. Seorang gadis manis turun dari bus kota. Berjalan tergesa-gesa melintasi tiga laki-laki tanggung yang berdiri di pinggir jalan. Tiga laki-laki itu mulai meneriakan kata-kata kepada si gadis. Tidak begitu jelas terdengar dari tempat kami berada karena tempat kami cukup jauh. Tapi kata-kata itu pasti lah kurang pantas. Dari raut muka si gadis terlihat dia sangat jengkel. Dan laki-laki itu tampak tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba aku berpikir apakah mereka, tiga laki-laki itu, pernah merasakan kegelisahan. Tapi tiba-tiba terdengar suara halilintar keras memekakkan telinga. Kami bertiga terperanjat. Seakan-akan Tuhan sendiri berkata, “Kalian tidak berhak untuk menghakimi!”.

April 2014

(Kisah diatas fiktif belaka. Tujuan penulis hanya semata-mata menampilkan konsep kegelisahan dalam pembentukan keimanan. Penulis mohon maaf atas keterbatasan dan kekurangannya. Semoga bermanfaat. Salam hormat.)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun