Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Ibu Dari Anak Bernama Radikalisme

7 April 2015   06:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Radikalisme kembali menjadi kata populer di media masa nasional seiring berkembangnya konflik di timur tengah. Terkait dengan hubungan tersebut, radikalisme disini tentu saja sepatutnya dimaknai terbatas pada keyakinan ekstrem terhadap ajaran agama tertentu bukan makna radikal sebenarnya yaitu keyakinan fundamental atau ekstrem terhadap pandangan tertentu. Sehingga seseorang yang tidak mengakui adanya Tuhan karena ketidakadaan bukti empiris bisa saja disebut dengan materialis radikal atau seseorang yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa lepas dari pikiran bisa saja disebut dengan idealis radikal.  Lebih lanjut artikel ini akan memaknai radikalisme dengan makna yang pertama, yaitu radikalisme agama atau lebih tepatnya radikalisme yang muncul dari persepsi terhadap agama yang dianggap menimbulkan persoalan khususnya terkait keamanan dan stabilitas nasional.

Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap radikal ada satu faktor empiris yang menarik dan menjadi fokus awal pembahasan artikel ini yaitu faktor ideologi warisan. Ideologi biasanya diturunkan melalui garis keturunan dalam wujud pendidikan dalam keluarga. Pada umumnya anak akan belajar ideologi pertama kali melalui keluarga. Ideologi awal itu bisa menjadi batu pijakan untuk mengembangkan ideologi itu lebih matang atau justru bisa mengalami perubahan arah karena adanya faktor lain yang lebih kuat dari faktor pengaruh keluarga yang tergerus oleh realita tuntutan produktifitas tinggi dalam iklim kapitalistik.

Tetapi artikel ini tidak akan memandang ideologi warisan dalam kerangka fenomenologi subyektif dari sisi individu dan menghubungkannya dengan peran keluarga dalam pembentukan dan pematangannya. Artikel singkat ini akan menelusurinya jauh ke hulu dan melihatnya dari sisi yang lebih besar yaitu fenomena sosial dalam wujud institusionalisasi agama sebagai induk dari berkembangnya ideologi individu yang kemudian diwariskan melalui garis keturunan. Kemudian lebih lanjut akan dikembangkan hubungan antara institusionalisasi agama dengan penyelesaian persoalan radikalisasi melalui proses deradikalisasi.

Sebagai fenomena historis, beberapa agama, termasuk diantaranya agama-agama terbesar, memulai sejarahnya dari wujud bersajaha. Kampanye-kampanye awal biasanya dikisahkan melalui perjuangan berat dan romantisme yang melekat padanya, bukan kemegahan dan kekuatan kekuasaan. Pada fase ini tidak dikenal doktrin atau dogma obyektif karena keduanya membutuhkan kekuasaan yang tentu saja jarang dimiliki oleh para aktor selama kampanye fase awal sehingga kampanye ini biasanya dilakukan melalui diskusi dialektik subyektif. Tetapi seiring dengan keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh selama fase kampanye awal, perlahan agama menempatkan dirinya sebagai institusi dan melengkapi dirinya dengan sejumlah nilai dan prinsip. Pelembagaan tersebut semakin kuat ketika pada suatu titik agama tidak bisa menghindari takdir sejarah untuk bersanding dengan kekuasaan politik beserta kekuatan militer sebagai alat politiknya. Dan tentu saja ketika prasyaratnya cukup, doktrin atau dogma obyektif dengan sendirinya akan muncul dan kekuatannya berjalan seiringan dengan arti penting agama terhadap kekuasaan. Dan dari gubuk sederhana yang diwarnai dengan diskusi subyektif, berubah menjadi benteng kokoh yang diwarnai dengan doktrin dan dogma obyektif untuk menjaganya.

Institusionalisasi agama atau organized religion dengan sendirinya akan menghadirkan pengetahuan obyektif yang kemudian akan disebarkan melalui agen-agennya kepada individu-individu yang selanjutnya akan diwariskan melalui garis keturunan. Tetapi sayangnya pada suatu titik ada kemungkinan munculnya tuntutan untuk memperkuat institusi dan menjadikan pengetahuan obyektif menjadi kebenaran mutlak an sich non-dialektik. Atau pada arah yang lain, jika tuntutan untuk menghadirkan sesuatu yang final tersebut tidak bisa dipenuhi oleh sebuah institusi, pasti muncul institusi-institusi lain yang menawarkan kebenaran mutlak sebagai akibat dari efek terbentuknya pengetahuan obyektif yang dengan sendirinya muncul karena adanya institusionalisasi agama. Dan radikalisme muncul dari klaim kebenaran mutlak.

Institusionalisasi agama tidak harus selalu berujung pada radikalisme, tergantung pada penyikapan pengetahuan obyektif. Pengetahuan obyektif yang disikapi sebagai esensi bukan eksistensi masih memberikan ruang yang cukup lapang untuk berdialektika terkait persoalan bagaimana mewujudkan esensi tersebut.  Tetapi persoalannya tuntutan-tuntutan yang muncul karena faktor-faktor sosial politik semakin memojokkan institusi agama untuk membenarkan eksistensi sebagai kebenaran mutlak. Sebagai jalan tengahnya beberapa institusi agama memilih klaim kebenaran eksistensial yang tidak berlawanan dengan realita kesepakatan utama seperti bentuk negara sebagai kebenaran mutlak tetapi tidak untuk yang sebaliknya. Dan seperti disampaikan diatas sayangnya sifat dari pengetahuan obyektif akan selalu melahirkan tuntutan klaim kebenaran eksistensial yang bersifat universal dengan menampik logika bahwa yang eksistensial akan bersifat kausalitas bukan universal.

Tidak bisa dipungkiri bahwa institusionalisasi agama bisa menjadi jalan awal terbentuknya radikalisme karena sifatnya yang dituntut untuk memberikan pengetahuan obyektif. Tetapi jika dikelola dengan benar pengetahuan obyektif esensial bisa menjadi senjata ampuh untuk proses deradikalisasi bahkan oleh institusi agama itu sendiri. Tetapi perlu diingat bahwa pengetahuan obyektif yang melekat pada institusi memang bisa menjadi lahan yang subur untuk terbentuknya radikalisme pada titik tertentu terutama jika yang berkembang  dari proses institusionalisasi tersebut adalah pemahaman deterministik fatalistik. Jika dari institusionalisasi tersebut terbentuk pandangan awal bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan semuanya sudah diatur sebelumnya dalam wujud eksistensial universal, maka radikalisme yang muncul bisa menjadi persoalan bagi kesepakatan historis terutama bentuk negara kesatuan.

Dalam realita saat ini, sulit kiranya membayangkan agama tanpa simbol atau tanpa institusi. Tetapi proses deinstitusionalisasi agama semakin kuat terasa ketika semakin banyak individu yang mengklaim dirinya tidak berada pada institusi agama tertentu. Perkembangan teknologi media sosial semakin mendorong banyak individu untuk mengekspresikan keyakinan agamanya lepas dari institusi tertentu. Subyektifisme dalam bentuk kemandirian individu untuk membentuk keyakinannya dan memelihara gairah spiritualnya yang disebut eternal passion oleh Soren Kierkegaard  mungkin menawarkan solusi akhir untuk radikalisme. Tetapi dengan iklim institusionalisasi agama yang masih kuat, subyektifisme dalam agama masih jauh dari angan-angan untuk memberikan dampak positifnya. …..Sejarah akan membuktikan.

Institusionalisasi agama beserta perangkat prinsip obyektifnya memang bisa menjadi jalan awal terbentuknya radikalisme. Tetapi jika pengetahuan obyektif ini dikelola dengan baik dalam wilayah pemahaman esensi universal bukan eksistensi universal institusi agama justru bisa menjadi solusi kontemporer untuk radikalisme. Radikalisme bisa lahir dari rahim institusi agama tetapi seperti ibu yang baik institusi agama seharusnya memberikan nasehat ketika anaknya mulai berulah nakal. Dan sebagai penutup meskipun menampilkan contoh kasus spesifik pada bagian terminologinya, tulisan ini bergerak pada wilayah umum terkait hubungan institusionalisasi agama dan terbentuknya radikalisasi dengan mencoba menelusuri rumusannya melalui hubungan tersebut. Karena bukan menggunakan pendekatan fenomenologi tentu saja saja tulisan ini berusaha menyingkap kebenaran obyektif, bukan subyektif. Selain kritik dan masukkan membangun, penulis berharap ada tulisan lain yang memperkaya atau mengelaborasi tulisan ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun