Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beriman dan Tuntutan Dihormati: Sebuah Analisa Kepantasan

22 Juni 2016   16:24 Diperbarui: 22 Juni 2016   16:26 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seringkali muncul pertanyaan yaitu apakah penghormatan harus dituntut sebagai hak sosial atau penghormatan akan datang dengan sendirinya tanpa harus dituntut sebagai wujud dialektika sosial. Pertanyaan seperti ini seakan-akan secara lahiriah memiliki sifat dualisme yang membuat salah satu klaim dituntut memiliki kekuatan legitimasi yang membuatnya lebih benar dari yang lain. Benturan klasik konsep lebih mengutamakan kepentingan kelompok dengan konsep lebih mengutamakan kepentingan individu tampak membayangi persoalan dualistik ini.

Keimanan sebagai fenomena sosial tidak luput dari persoalan di atas sehingga lebih lanjut muncul keharusan personal atau sosial untuk menemukan sintesis yang tepat untuk mengetahui posisi yang pantas terkait bagaimana orang beriman seharusnya bersikap. Sebagai akibatnya bentuk ideal untuk sikap orang beriman mungkin bisa didefinisikan dengan tidak menyangkal adanya hak sosial untuk menuntut penghormatan dan sekaligus pada saat bersamaan menghormati mekanisme alami untuk mendapatkan penghormatan yang akan menjadi hipotesis yang akan diuji dengan argumentasi di bawah.

Dalam piramida kebutuhannya Maslow menempatkan kebutuhan self-esteem setelah kebutuhan cinta (mencintai) yang salah satu penjelasan lanjutannya menyebutkan adanya kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan diakui. Oleh sebab itu, kebutuhan untuk menuntut penghargaan, penghormatan dan pengakuan tidak bisa disangkal, setidaknya dalam wilayah individu. Dan kebutuhan di wilayah individu bisa terakumulasi menjadi kebutuhan kolektif.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah keimanan yang termanifestasi dalam diri orang beriman memiliki legitimasi pengetahuan obyektif sehingga bisa mengubah kebutuhan kolektif tersebut menjadi struktur kolektifisme vertikal yang kuat yang bersifat otoritatif dan hirarkis dengan menempatkan pengetahuan lainnya berada di bawahnya.

Keimanan merupakan keyakinan terhadap konsep metafisik yang berada di luar wilayah pengetahuan empiris. Sehingga kemudian, sebagai akibat logisnya, menciptakan struktur kolektifisme vertikal berdasarkan pengetahuan obyektif empiris tidak bisa dilakukan dengan menggunakan klaim-klaim metafisik karena sebuah klaim metafisik tidak bisa ditempatkan di atas klaim metafisik lainnya.

Jika dipaksakan untuk memenuhi kebutuhan penghormatan, struktur kolektifisme vertikal yang meminjam kekuatan kohesinya dari klaim metafisik akan dipaksa untuk menggunakan kekuatan represif dan menggeser keimanan ke wilayah pengetahuan empiris, sesuatu yang sekali lagi secara logis tidak bisa ditemukan landasan struktur kebenarannya.

Ketika keimanan tidak cukup kuat dan stabil untuk membentuk struktur kolektifisme vertikal, maka pemenuhan kebutuhan penghormatan tersebut bisa dicari pada struktur kolektifisme lainnya, yaitu kolektifisme horisontal di mana individu dipandang dan diperlakukan setara dengan kohesi sosial yang terbentuk karena partisipasi anggota kelompok dalam semangat kesetaraan ini.

Tetapi dalam kolektifisme horisontal muncul tuntutan baru yang direduksi oleh struktur kolektifisme vertikal karena sifat otoritarian dan hirarkisnya, yaitu tuntutan untuk menghormati juga kebutuhan orang lain atas kebutuhan yang sama. Dengan sendirinya, dalam bentuk kolektifisme seperti ini terbangun interaksi sosial dengan semangat berdialektika.

Beriman dalam atmosfer kolektif seperti ini akan lebih menekankan tindakan untuk menjaga kohesi sosial yang terbentuk dari kesadaran bahwa keimanan tidak bisa dibawa ke wilayah hirarki kebenaran. Konsekuensinya, orang beriman akan memprioritaskan tindakan untuk menjaga dan mempertahankan kohesi sosial yang terbangun dari kesetaraan dan sikap egaliter . Sebagai akibat dari prioritas terhadap tindakan ini, orang beriman akan dengan sendirinya mendapatkan penghormatan dan pada saat bersamaan berhasil memenuhi kebutuhannya atas pengakuan. Sebuah pemenuhan kebutuhan yang alami.

Sebaliknya, dalam atmosfer kolektifisme vertikal terdapat kecenderungan yang kuat untuk menerapkan hirarki kebenaran sehingga penghormatan yang diperoleh tidaklah berasal dari kesetaraan individu, tetapi dari pemaksaan bahwa sebuah pengetahuan harus berada di bawah pengetahuan lain, baik karena anggapan lemahnya konsep logis pada pengetahuan tersebut atau karena kekuatan mayoritas yang menjadi penentu tingkat kebenaran. Pemenuhan kebutuhan penghormatan dalam atmosfer seperti ini kurang bisa disebut alami atau jika muncul praktek saling menghormati, praktek tersebut semu karena sifat lahiriah struktur kolektifnya.

Sebagai kesimpulan, orang beriman sebagai individu memiliki kepantasan untuk menuntut penghormatan untuk memenuhi kebutuhan pengakuan. Pemenuhan kebutuhan tersebut bisa diperoleh secara alami dalam struktur kolektifisme horisontal yang mengedepankan kesetaraan individu untuk menjaga kohesi sosialnya. Dalam struktur kolektifisme vertikal yang otoritarian dan hirarkis terdapat arus yang kuat untuk pemenuhan kebutuhan atas pengakuan dengan melakukan modifikasi sosial yang berujung pada pemenuhan kebutuhan secara tidak alami. Persoalan kemanusiaan yang mungkin ditemui dalam arus distortif yang kuat ini mungkin bisa terpecahkan dengan menggunakan konsep King Philosopher.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun