Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gempa!

3 Juli 2016   22:31 Diperbarui: 4 Juli 2016   03:12 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Embun masih mendekap dedaunan Camelia sinensis ketika truk pengangkut buruh pemetik teh PTPN VII itu membelah pagi. Ada dua puluh tiga kepala di dalamnya. Suwardi ada di sana, berdiri di sebelah Kasman, tetangganya, setelah berkumpul pukul enam di sebuah titik penjemputan di tubir jalan. Di antara para pemetik teh itu, tampil pula para pendaki yang menumpang menuju afdeling IV dan meneruskan langkah menuju pintu rimba; titik pendakian pertama. Jumlah mereka lima orang.

Kasman terkantuk-kantuk. Sesekali pegangannya terlepas dari tepi bak truk. Kepalanya terantuk ke kepala Suwardi. Istri Kasman yang berbau asam dan dipunggungi olehnya itu tersenggol, kemudian ia menegur dengan penuh perintah. Kasman hanya menguap, mengerjap, mengusap wajah dengan kedua tangan yang telah disarungi.

Suwardi adalah lelaki yang sama iya, namun hari ini ia lebih tegar menahan kantuknya. Seakan lupa pada lain hal,-tentang jadwal tidur yang kacau balau, kepala yang sudah berantukkan namun nihil ekspresi, masalah-masalah seperti uang, keluarga, percintaan, duh,  yang bikin gering hulu!-, pandangan Suwardi malah mengirap ke arah Gunung dempo yang hanya sejengkal pandang.

Tiga puluh tiga tahun hidup di dunia, beberapa jam lalu adalah pengalaman pertama Suwardi merasakan gempa. Bukan berarti alam pilih kasih, sampai tak tega pada Suwardi untuk berkenalan dalam konotasi yang begitu buruk seumur hidupnya. Meski Suwardi telah bekerja sebagai pemetik teh kelas buruh lepas selama satu semester, dan tangannya sudah terampil dengan rumus petik, ia belum pernah merasakan berdiri di atas tanah besemah yang bergoyang-goyang! Suwardi hanya tahu kata itu dari mulut ke mulut; cerita para pemetik teh di sela istirahat siang atau ketika pulang berjalan kaki, tentang aktivitas gunung Dempo yang naik turun.

 “Wes. Rasah dipikirin. Sering gempa memang, gempa kecil. Aku semalam malah tidak merasakannya sama sekali.” Ulang Kasman seperti tadi pagi, ketika Suwardi menceritakan perihal gempa sambil menyeka sangkak yang terbit di tekuk badan. Untuk menunjukkan kesungguhan karena kawan baru dari tanah jawa ini nampak gelisah, Kasman memasang wajah iba pada para pendaki yang menggigil dan memeluk badannya sendiri. Alangkah malang dan sia-sia, karena mungkin jalur pendakian akan segera ditutup.

*****

Kasman berusia setengah abad. Ia tentu akrab dengan aktivitas di lereng gunung. Setelah menggeliat untuk mengendorkan otot, ia berkisah dengan luwes dan galib; ekspresinya datar mengiringi cerita. Katanya, gunung Dempo terakhir meletus di tahun 2006. Ini menyebabkan kerusakan pada beberapa sektor perkebunan. Teh. Kopi. Sayur mayur, semua kena. Penduduk dari beberapa wilayah siap melakukan eksodus karena sungai dicemari lumpur belerang dan air dari gunung kawah. Namun selama itu pula, Dempo belum mengerikan. Tak ada yang harus ditakutkan, karena aktivitasnya belum pernah bersifat magmatik.

Bukan tak menghargai hidup dan menggampangkan urusan mati. Dalam pikiran Kasman dan keturunan transmigran lain, Gempa yang paling besar dalam hidup kaum sub-proletar seperti mereka bukan berasal dari aktivitas gunung. Atas itu, ia telah lama menunjukkan kepasrahannya; modal setiap kepala yang bergantung hidup dari perkebunan teh ini. Ini lebih baik daripada tidak memilikinya sama sekali. Tak heran bahwa bahkan hubungan asimetris dengan pihak atas, telah menjadikan keturunan mereka menjalankan kedudukan setara; sebagai produk kebijakan rezim sebelumnya, generasi ketiga kini menjadikan pemetik teh sebagai karirnya.

Perjalanan setengah jam itu menghilangkan ruyup dari kelopak mata sesiapa. Matahari menyembul dari balik dada bukit, menabik hamparan teh berbatang pendek itu sebagai sumber kehidupan. Suwardi masih tenggelam dalam pikirannya. Ada yang ia sembunyikan di dalam kepala. Kasman menghentikan cerita ketika mobil truk kuning tersebut berhenti di sisi sebuah pondok penimbangan; sementara para pendaki melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, di sanalah seorang mandor petik dan asistennya akan mengawasi pekerjaan pemetik teh, menimbang hasil petikan, kemudian memberi upah borong alias sesuai hasil per kilogram.

*****

Para pemetik teh turun satu-persatu. Suwardi berencana turun paling terakhir. Ketika para pemetik teh duduk bersilah untuk memakan bekal masing-masing; mempersiapkan energi sebelum memanggul kinjar dan memetik teh berdasarkan kuantitas yang ditetapkan dalam pengarahan, entah bagaimana, rambang hati Kuswadi untuk turun. Sedari tadi matanya memang awas karena ada yang aneh dari atas gunung itu; Seorang anak raksasa melambaikan tangan ke arahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun