Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd
Gema takbir berkumandang. Hari ini, seluruh umat Islam di dunia merayakan Idul Adha atau yang juga disebut sebagai Lebaran Haji.Â
Hari raya Idul Adha selalu dirayakan meriah. Masjid-masjid penuh, takbir bergema, dan halaman ramai oleh prosesi penyembelihan hewan kurban.Â
Namun di tengah gegap gempita ini, ada satu pertanyaan yang mungkin jarang muncul: di mana posisi perempuan dalam perayaan Idul Adha? Apakah mereka hanya figuran yang hadir di pinggiran layar utama sejarah?
Kalau kita jujur, banyak dari kita hafal tokoh-tokoh utama kisah kurban: Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan tentu saja perintah Allah. Tapi apakah kita pernah mendengar khutbah yang membahas peran Hajar, ibu Ismail, dalam konteks Idul Adha? Kemungkinan besar, tidak.Â
Hajar: Perempuan yang Terlupakan dalam Narasi Kurban
Entah mengapa, hari ini saya tergelitik untuk mengenang kisah Hajar dalam momen Idul Adha ini.Â
Hajar bukan hanya istri Nabi Ibrahim dan ibu Nabi Ismail. Ia adalah perempuan luar biasa yang ditinggal suaminya di padang tandus bersama bayi mungil, tanpa air, tanpa makanan, tanpa kepastian. Tapi ia tidak putus asa.
Justru karena keputusasaannya yang produktif, larinya antara bukit Shafa dan Marwah, lahirlah air zam-zam, sumber kehidupan yang membuat kawasan Mekkah bisa dihuni dan menjadi pusat spiritual umat Islam hingga hari ini. Ritual sa'i dalam haji dan umrah merupakan penghormatan langsung atas perjuangan Hajar.
Namun saat Idul Adha dirayakan, yang ditonjolkan hanyalah perintah kurban kepada Ibrahim dan kepasrahan Ismail. Perjuangan Hajar, yang notabene adalah akar dari semua itu, jarang diangkat ke permukaan. Kisah ini jarang diangkat dalam khutbah sholat Idul Adha.Â
Mengapa Perempuan Diabaikan dalam Perayaan Spiritual?
Saya percaya, Islam sejatinya adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Namun, mengapa sejarah seolah seringkali mengabaikan peran perempuan dalam perayaan spiritual, seperti Idul Adha ini.Â