Mohon tunggu...
Dian Savitri
Dian Savitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan perantau

Berkelana ratusan kilometer dari kampung halaman, mengumpulkan pengalaman demi secercah harapan di masa tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menggantung Cita di Indonesia, Masih Bisa?

29 Juli 2016   14:29 Diperbarui: 30 Juli 2016   15:55 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setidaknya kita pasti pernah menyebutkan satu cita-cita sewaktu duduk di bangku sekolah atau mungkin lebih dari itu. Seorang anak dengan lugunya mendamba akan menjadi seorang tentara, dokter atau guru. 

Perayaan hari Kartini dimeriahkan anak-anak berbaju profesi seperti pilot, polisi dan lainnya. Mungkin beberapa deret kata itu saja yang dikenal seorang anak mengenai profesi. Mungkin juga perbendaharaan kata yang terbatas. Mereka tentu tidak berpikir bahwa pedagang, tukang becak dan penyapu jalan termasuk dalam daftar nama pekerjaan.

Lalu apakah saat ini cita-cita yang kita teriakkan dengan lantang berubah kenyataan?

Dalam proses kehidupan berikutnya, cita-cita itu pun berjalan mengikuti ritme yang ada. Tidak sedikit orang mampu menggapainya, namun cukup banyak pula gagal meraihnya. Ada juga beberapa orang sukses merealisasikan impian masa kecil melalui perjalanan yang cukup sulit. Ya, banyak faktor mempengaruhi tentunya.

Indonesia memang gemah ripah loh jinawi. Tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Sayang, tidak semua orang bisa merasakannya. Apakah semua anak Indonesia dipastikan mendapat pendidikan yang layak? Sementara setiap hari kita melihat permasalahan pendidikan di seluruh pelosok Tanah Air. 

Jikapun mereka bersekolah, apakah mudah mendapat pekerjaan sesuai keinginan? Sementara untuk menjadi seorang dokter dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan saat lulus menempuh pendidikan, apa mudah mencari tempat bekerja dan mengabdi? 

Dalam salah satu adegan di drama Korea, Descendants of The Sun, diperlihatkan saat seorang Dr. Kang Mo-yeon terdepak dari posisinya oleh Kim Eun-ji hanya karena ia putri dari keluarga pemegang saham besar yang tentunya sangat berjasa untuk rumah sakit tersebut. 

Drama itu pun menggambarkan betapa tidak profesionalnya seorang Kim Eun-ji sebagai seorang dokter yang justru naik pangkat. Kejadian seperti ini "mungkin" juga terjadi di Indonesia.

www.dramehouse.com
www.dramehouse.com
Berikutnya, guru. Profesi yang beberapa tahun ini cukup keren di kalangan anak muda setelah Pemerintah memberikan perhatian lebih kepada pahlawan tanpa tanda jasa ini. Namun apakah semua mahasiswa keguruan dapat dengan mudahnya mengajar di sekolah? Tanpa adanya jaringan, cukup mustahil bisa masuk ke sebuah sekolah untuk mengajar, apalagi di Jawa. Sudah padat katanya. 

Bahkan di mata masyarakat, bukan hal asing lagi ketika  melihat tiba-tiba ada seorang guru baru muncul di ruang kantor. Tanpa adanya pengumuman lowongan apalagi proses seleksi. Bisik-bisik di antara para guru, "Itu titipan Pak Anu". Entah akhirnya benar-benar bisa mengajar atau hanya berakting mengajar. Miris? Mungkin. Mau dihentikan? Mana mungkin.

Koneksi adalah keahlian. Kalimat ini memang benar selama jaringan yang kita miliki digunakan sebagaimana mestinya. Tetapi bagaimana dengan pemanfaatannya oleh orang-orang tak bertanggung jawab? Seseorang yang tidak mumpuni di satu pekerjaan, namun bisa berada di posisinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun