Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bu Nia dan Kebiasaannya Menyusun Jurnal Harian

21 November 2014   23:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_355379" align="aligncenter" width="300" caption="Bu Nia di Tanah Karo."][/caption]

MALAM sudah begitu larut di Berastagi, Karo, Sumatera Utara. Teman-teman sudah diserang ngantuk berat. Tetapi Bu Nia masih belum tidur. Kelelahan sehari berkegiatan di tenda (sekolah darurat yang dipasang di halaman SKB Kabanjahe, Karo) tampaknya belum membuat matanya ngantuk. Ia terus menulis. Berjibaku dengan androidnya. Kamera DSLRnya tergeletak di dekat kakinya, di atas kasur penginapan yang empuk.

Udara di luar begitu dingin. Menyusup menembus pori-pori baju. Jauh di arah barat, Sinabung bergemuruh. Mulutnya terus muntahkan dahak awan panas. Asap putih mengepul memukul-mukul langit. Bu Nia masih saja menulis. Sesuatu telah merangsang pikirannya sehingga tetap nyala, sesuatu yang indah dalam diri anak-anak Karo yang ditemuinya di tenda. Ia tersenyum.

“Ibu selalu penasaran dengan anak-anak. Ibu yakin, pasti mendapat kejutan dari mereka,” ujarnya. Bu Nia, guru biologi asal Bandung. Ia telah wira-wiri di jagat pendidikan puluhan tahun. Ia didaulat sebagai guru profesional karena kepiawaiannya mendidik anak dengan inspirasi-inspirasi. Nia Kurniati, nama aslinya. Sudah tak terhitung anak-anak yang terinspirasi oleh sentuhan tangan dinginnya. Ladang terakhirnya mengabdi di SMP Negeri 11 Bandung.

Ia diundang ke Sinabung sebagai fasilitator utama bagi anak-anak SMA Negeri1 Simpang empat, Karo. Ini sekolah yang terkena dampak erupsi Sinabung. Terletak di Kecamatan Sibintun yang masuk zona merah. Warga di kecamatan ini harus rela diungsikan. Akibatnya anak-anak mereka harus menumbang belajar di SMP Negeri 1 Simpang Empat, Desa Ndokum Siroga, zona aman.

Dengan segudang pengalamannya mengasah anak-anak menjadi berlian-berlian, Bu Nia mendapat kehormatan menjenguk Sinabung. Di bawah payung projek pendampingan penyintas anak bagi korban terdampak Sinabung yang digagas Kerlip (Keluarga Peduli Pendidikan) sebuah LSM yang fokus pada peningkatan akses pendidikan ramah anak,Bu Nia datang dengan berlaksa-laksa harapan di hati. Harapan menemukan anak-anak hebat dari tanah Karo.

Ketertarikan Bu Nia pada anak terinspirasi dari Yanti Sriyulianti, Direktur Kerlip. Pada suatu ketika mereka bersua. “Bu Yanti mengatakan ke Ibu bahwa sebagai guru dan orangtua, kita harus selalu mengutamakan kepentingan terbaik anak.”

[caption id="attachment_355380" align="aligncenter" width="300" caption="Bu Nia Mengajar di Kelas Darurat."]

14165604061910186407
14165604061910186407
[/caption]

Kepentingan terbaik anak. Kalimat itu selalu mengganggu pikiran Bu Nia. Benar-benar menohoknya. Pikirannya, tercerahkan bahwa yang utama adalah melayani anak sebaik-baiknya. “Proses berikutnya, ketemu anak-anak. Di otak Ibu menggebu-gebu semangat berjumpa dengan anak karena dilandasi semangat bahwa Ibu bakal mendapatkan kejutan baru,” ujarnya. Nia memang sedikit manja, karena ia lebih suka kalau dipanggil Bu Nia. Pakai embel-embel “Bu”

Ketika menjenguk Karo, awal Februari 2014 lalu, bersama Arlian, ia bertemu dengan sekitar 300 anak-anak Karo. “Saat pertama berkegiatan, Ibu tidak menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang menurut Ibu asyik. Semua terasa biasa-biasa saja,” jujurnya.

Tetapi ketika papan mimpi dibagi, dan anak-anak mulai menyusun impiannya masing-masing lewat potongan-potongan gambar dari majalah atau koran, Mereka kemudian mempresentasikannya. Di situlah Ibu mulai menemukan sesuatu yang asyik dari Nita. Nita adalah seorang anak perempuan yang duduk di bangku kelas dua SMA jurusan IPA.

“Nita memberikan kejutan bagi Ibu. Ia anak yang vokal. Begitu menggebu-gebu menyuarakan gerakan anti-korupsi,” katanya bangga. Menemukan seorang anak Karo (yang secara geografis jauh dari ibukota) tapi lantang bicara anti-korupsi, bagi Bu Nia, adalah sebuah kejutan.

Setelah Nita, menyusul anak-anak lain lewat presentasi papan mimpi mereka yang juga memukau mata Bu Nia. “Ibu lihat, presentase mereka itu adalah cara mereka merespon (didikan) Ibu. Lewat bahasa tubuhnya atau cara mereka menatap Ibu, sebenarnya mereka sedang mengatakan sesuatu kepada Ibu. Maka Ibu menyendengkan telinga baik-baik atas pendapat mereka. Ibu rekam, Ibu catat, Ibu potret. Semua fakta-fakta itu Ibu TULIS baik-baik,” terangnya.

Setiap adegan di kelas, khususnya ketika anak berbicara atau presentase terus didokumentasikannya. Saya sengaja diminta sebagai juru foto selagi dia berbagi inspirasi di depan kelas. Saya ambil gambar dan video dengan memakai kamera dan android. Dua alat itu memudahkan kerja saya.

Lalu, “Setiap video itu Ibu putar ulang di rumah. Foto-foto Ibu pelajari. Ibu terkejut, karena ternyata anak-anak ini punya potensi-potensi unik,” katanya kemudian cepat-cepat disambungnya, “Ibu melihat, di antara nyelenehnya mereka, ternyata tersimpan potensi-potensi hebat yang menarik untuk digali.”

[caption id="attachment_355381" align="aligncenter" width="300" caption="Papan Mimpi Anak-Anak Tanah Karo."]

14165604421008082841
14165604421008082841
[/caption]

Dari situ, Ibu makin tertantang untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, yang membuat si anak nyaman dengan kehadiran Ibu. Ia mengatakan kalau dia harus menjadi sahabat bagi anak-anak. Lewat tindakan, ia berusaha meyakinkan anak-anak bahwa ia benar-benar ingin berada di pihak mereka, sedia mendengarkan pendapat mereka, sepasti yang dilakukannya pada Yossi dan Nita. Dua anak yang potensinya menonjol dan lebih dulu menjadi sahabatnya. “Dan kemudian mereka nyaman dengan ide-ide Ibu,” cetusnya.

Ketika Nita dan Yossi nyaman dengannya, tampak itu adalah kebahagiaan tersendiri. Dengan kedekatan itu, ia bisa mengenal mereka lebih dalam, menjajaki karakter mereka lebih jauh. Pun ia tidak lupa menggali karakter tiap anak dari tuturan guru, seperti dari Bu Nelly, wali kelas, yang ia yakin juga punya penilaian berbeda terhadap setiap anak. “Ibu tertarik melakukannya karena Ibu mulai menemukan kejutan-kejutan baru dari keunikan mereka masing-masing,” begitu jawabnya.

Bu Nia mengakui, memang tidak mudah melakukannya. Tetapi semangatlah yang membimbingnya, cintanya yang besar menolongnya untuk terus bertahan. Pertama ia mulai dari satu dua anak. Dicermatinya kelompok yang presentase. Ia sorot mereka yang aktif dan tidak aktif. “Yang aktif, Ibu buat catatan untuk melihat lompatan-lompatan berpikirnya sejauh mana. Yang tidak aktif juga ibu tulis, tetapi lebih dulu, Ibu dekati dan coba memahami mengapa mereka demikian. Data-data tentang mereka, maksud Ibu, data aktivitas keseharian mereka di kelas, sebisa mungkin Ibu kumpulkan. Dan ibu tetap berusaha menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak, sehingga pelan-pelan semua rahasia belajar mereka tersingkap,” ungkapnya.

Papan Mimpi

Lalu bagaimana Bu Nia pertama kali mengenali potensi anak? Papan mimpi!, sahutnya. Papan mimpi menjadi salah satu alat yang digunakannya untuk mendeteksi potensi awal anak. Kemudian dia lanjutkan dengan book of me, semacam mandala diri, buku berisi catatan pribadi anak yang bercerita lebih jauh tentang diri anak. “Melalui book of me,” terangnya, “Ibu ajak anak-anak untuk meliarkan idenya seliar-liarnya.”

Di setiap akhir pembelajaran di kelas, Bu Nia mendapati bagaimana cara anak-anak mengungkap pikiran dan perasaan mereka via book of me. Anak-anak yang sudah terarah pada impiannya terlihat dari caranya menyusun papan mimpi dan book of me. Anak kategori ini biasanya tak mengalami kendala saat presentase. Sedang anak yang masih bingung, menunjukkan kalau konsep tentang dirinya belum jelas. “Kategori kedua ini perlu ditolong,” sambungnya.

Namun yang lebih penting adalah tindak lanjutnya. Dan bagaimana Ibu mengarahkan potensi mereka serta impian-impian mereka dalam menjawab isu-isu sosial. Di Bandung misalnya, terang dia, ketika belajar tentang struktur daun, tak cukup hanya mengenal daun dan fungsinya. Anak-anak Ibu arahkan ke isu sosial. Misalnya apa persoalan Bandung? Tata kelola dan struktur bangunan. Maka anak-anak berlomba-lomba mencipta ide membuat struktur bangunan seperti daun. Rumah berbentuk daun, perpustakaan berbentuk daun atau taman kota berbentuk daun. Unik, bukan?

Dari penemuan awal tersebut, Bu Nia melengkapi catatannya tentang data-data anak. Ibu tandai potensi-potensi anak. Catatan itu yang akan menolong Ibu melihat perkembangan mereka. Penting bagi Ibu melihat perkembangan mereka. Ibu tidak pernah menganggap sesuatu yang nyeleneh sebagai sesuatu yang tidak penting. Bagi Ibu, semua memberi makna. Tinggal bagaimana Ibu mencerna dan merespon itu semua.

Kenapa Ibu bisa melakukan semua itu? “Karena Ibu punya keinginan lebih. Ibu membiasakan diri merekam kegiatan di kelas. Ibu beli alatnya. Ibu tahu cara menggunakannya. Dan Ibu terampil mengolahnya,” urainya.

Ia melanjutnya, Ibu tak mau meremehkan diri sendiri karena Ibu percaya kalau Ibu juga unik, sepasti anak-anak Ibu.Maka setiap ide yang Ibu miliki, Ibu implementasikan. Setiap foto-foto atau video pembelajaran di kelas, Ibu pelajari ulang. Setiap foto Ibu beri keterangan. Ibu rajin bikin jurnal tentang perkembangan setiap anak-anak yang ibu didik.

[caption id="attachment_355382" align="aligncenter" width="300" caption="Anak Laki-Laki Juga Mempresentasikan Cita-Citanya."]

14165604881287601005
14165604881287601005
[/caption]

Catatan Bu Nia berisi: foto-foto anak, deskripsi potensinya dan catatan perkembangan setiap anak dari hari ke hari. Adakah kendala? “Tentu. Butuh kesabaran. Tetapi Ibu sudah melatih diri melakoninya menjadi kebiasaan. Melalui catatan itu, Ibu lebih mudah mendekati anak, memberi mereka didikan. Melalui catatan penilaian Ibu terhadap proses pembelajaran, Ibu bisa temukan peluang si anak merasa berharga dan pembelajaran bermakna,” tuturnya.

Untuk keterampilan seperti ini, ternyata Bu Nia mempelajarinya selama tiga tahun, khusus mengobservasi. Di kelas observasi, ia mengatakan kalau ia dilatih menemukan kesulitan belajar anak,belajar membuat deskripsi tentang anak dan belajar merespon setiap perilaku anak. “Catatan-catatan observasi itu yang menolong Ibumengetahui cara anak belajar. Di catatan itu setidaknya memuat mana anak yang bisa menemukan jawaban atas persoalannya sendiri dan mana yang masih kebingungan,” terangnya.

Melalui catatan itu, Bu Nia kemudian memetakan potensi dan kesulitan anak. Peta ini membantunya mengambil tindakan lebih bijaksana, mulai dari merencanakan pembelajaran, memilih pendekatan yang lebih tepat dan menilai anak lebih objektif, bukan dengan otomatis mencecar anak yang kebingungan dengan aneka pertanyaan yang bisa menikam karakternya.

Melalui pemetaan tadi, Bu Nia mengatakan, menemukan bahwa kecepatan belajar masing-masing anak berbeda, sesuai besarnya niat dan usaha mereka. Di sinilah, peran dia sebagai guru harus sedia di pihak anak. “Ibu memang bukan ahli. Ibu hanya seorang guru yang terus belajar mendalami karena Ibu tertarik pada sebuah kejutan yakni penasaran melihat anak berkembang. Sebagai guru, Ibu percaya prinsip inklusi, bahwa setiap anak berkebutuhan khusus. Karena itu perlu perdampingan khusus bagi tiap anak untuk menolong mereka mengatasi kesulitan belajarnya,”

Bu Nia, sepanjang Februari hingga Juni 2014 menjadi fasilitator di Karo. Ia mengumpulkan banyak catatan, data dan fakta. Semua merangkum potensi dan perkembangan anak-anak yang dididiknya. Ia mencatat secara baik dan menyimpan catatan-catatan itu dengan rapi. Kini ia mulai merambah menyusunnya satu demi satu untuk dibikin buku. “Sudah saatnya Ibu merambah ke penulisan buku. Buku tentang bagaimana Ibu selama bersama anak-anak. Ibu kira, perlu panggung yang lebih besar bagi Ibu untuk berbagi. Mungkin bukulah jawabannya,” pungkasnya.

Kami doakan, semoga Tanoto Foundation bersedia mempublikasikan buku Bu Nia. Amin (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun