Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah TOP di Pulau Nias (Bagian 12)

1 November 2020   05:00 Diperbarui: 1 November 2020   05:04 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Penari di sebuah Stasi Yang berada di Pegunungan (dok.pri) 

Kursus Bahasa Nias

Selama menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di pulau Nias, saya mengikuti kursus bahasa Nias dua kali. Mengapa dua kali? Karena pada kursus yang pertama saya gagal. Sementara kursus yang kedua saya berusaha semaksimal mungkin karena menganggapnya sebagai kesempatan terakhir untuk bisa berbahasa Nias.

Kursus yang pertama saya jalani pada bulan November tahun 2017. Kursusnya dilakukan dengan tinggal di rumah salah seorang umat yang berada di pelosok kampung. Sengaja dipilihkan tempat yang paling pelosok agar cepat mahir berbahasa Nias mengingat di tempat tersebut penggunaan bahasa Indonesia sangat jarang, bahkan tidak pernah sama sekali, kecuali ketika mereka berkomunikasi dengan diriku.

Cara mereka mengajari saya bahasa Nias ialah dengan langsung diajak berbicara. Jika ada kata atau ungkapan yang tidak saya mengerti maka saya akan menanyakannya kepada mereka. Dalam memberi penjelasan tentang arti yang saya tanyakan pun sebisa mungkin mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia. Tujuannya supaya saya cepat mahir.

Pernah suatu kali, di malam hari, bapak tempat saya tinggal sedang sakit dan yang menemani saya di ruang tamu ialah keponakan bapak tersebut. Saat itu, saya merasa kesunyian dan ingin berbicara dengan bebas, tetapi tidak bisa karena bahasa Nias ku masih kacau balau. Akhirnya saya mulai pembicaraan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saat itu saya merasa lepas bebas.

Tiba-tiba, di tengah pembicaraan, bapak yang punya rumah keluar dari kamar dan menegur keponakannya tersebut. Bapak tersebut meminta supaya obrolan kami tidak dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia melainkan bahasa Nias. Dan kami pun segera mengubah bahasa obrolan yang kami gunakan menjadi bahasa Nias dan lidahku kembali kaku rasanya.

Kursus pertama ini saya jalani selama lima hari. Menurutku, kursus tersebut belum berhasil karena bahasa Nias ku masih amburadul. Ketika kembali ke paroki pastor paroki langsung mengajak untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Nias untuk menguji saya dan saya segera menangkap ekspresi kekecewaan dari raut wajahnya. 

Ini kegagalanku bukan kegagalan umat yang membimbingku. Sebelum saya, pernah juga seorang pastor yang kursus bahasa Nias di tempat yang sama dan tidak sampai lima hari pastor tersebut lulus. Jadi bisa saya simpulkan bahwa kegagalan ku itu adalah murni karena saya.

Kursus kedua terjadi pada bulan Februari tahun 2018. Seperti kursus yang pertama, saya tinggal di rumah salah seorang umat namun bukan di tempat umat yang sebelumnya. Sembari kursus, saya juga diminta oleh pastor paroki melatih orang muda di stasi tempat saya tinggal untuk menjadi misdinar. Saya mempersiapkan mereka menjadi misdinar dalam perayaan penerimaan komuni pertama dan pemberkatan gedung gereja mereka.

Selain tugas dari pastor paroki tersebut, saya juga mendapat tugas dari ketua stasi untuk memberikan katekese atau pengajaran iman bagi para calon penerimaan komuni pertama. 

Dengan tugas-tugas yang ada, ternyata proses belajar bahasa Nias ku menjadi sangat efektif. Sama seperti suasana di tempat kursus ku yang pertama, di tempat ini juga bahasa Indonesia sangat asing dan bahkan mayoritas dari mereka tidak mengerti bahasa Indonesia. Karena ini merupakan kesempatanku yang kedua untuk belajar bahasa Nias, maka saya sangat berusaha.

Yang juga sangat membantu saya dalam mempelajari bahasa Nias ini ialah saat saya mengajari anak dari tuan rumah itu belajar bahasa Indonesia. Keadaannya memang demikian bahwa mereka di tempat itu tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia sehingga anak mereka yang masih duduk di bangku SD mendapat kesulitan untuk mengikuti pelajaran di sekolah.

Setiap malam saya mengambil waktu sebentar untuk membantu mereka belajar bahasa Indonesia dan sebaliknya itu adalah kesempatan bagi saya untuk juga belajar bahasa Nias. 

Caranya adalah demikian. Saat saya menunjuk sebuah piring maka mereka akan menamainya dengan bahasa Nias yaitu figa. Setelah itu saya pun menamainya dengan bahasa Indonesia yaitu piring. 

Begitu pula selanjutnya dengan benda-benda lain yang ada di dalam rumah, mereka akan menyebutnya dalam bahasa Nias sementara saya akan menyebutnya dalam bahasa Indonesia sehingga mereka pun mengerti bahasa Indonesia dan saya pun mengerti bahasa Nias. Saat itu kami saling mengajari.

Untuk kursus yang kedua ini, saya berani menyebut diri berhasil. Sepulang dari tempat kursus, saya bisa berbincang-bincang dengan menggunakan bahasa Nias. Saya juga bisa menyusun kotbah dalam bahasa Nias. Meskipun demikian, proses belajar saya tidak berhenti sampai di situ mengingat begitu kayanya kosa-kata dalam bahasa Nias.

Refleksi Pribadi

Kursus bahasa Nias ini menjadi sangat penting bagi saya dalam menjalani masa TOP di Pulau Nias. Kebetulan umat di paroki tempat saya TOP banyak yang masih sulit mengerti bahasa Indonesia.

Saya pernah bertanya kepada salah seorang umat tentang rasa mereka ketika mendengarkan kotbah dalam bahasa Indonesia. Umat tersebut menjawab bahwa untuk mengerti isi kotbah tersebut mereka tidak kesulitan. Namun meskipun demikian, isinya belum bisa menyentuh hati mereka. Jadi saat itu pemahaman mereka atas isi kotbah yang disampaikan dalam bahasa Indonesia hanya terbatas pada tataran kognitif padahal kotbah haruslah juga menyentuh hati dan perasaan mereka sehingga dapat membantu mereka mengenal Allah secara lebih baik.

Mendengar pengakuan umat tersebut motivasi ku untuk belajar bahasa Nias pun meningkat. Tujuannya ialah agar pelayanan pastoral ku berjalan dengan baik. Tuhan harus bisa dijelaskan dalam cita rasa budaya setempat agar bisa tinggal di dalam hati mereka dan untuk bisa melakukannya bahasa adalah syarat utamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun