Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Money

98 Persen Petani Singkong Melarat

11 April 2021   13:59 Diperbarui: 11 April 2021   14:09 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kiyai Haedar Natsir tampak sumringah. Di gedung Muhammadiyah Cik Ditiro Yogyakarta, ketua PP Muhammadiyah itu menebar kabar, petani singkong binaan Majlis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Banjarnegara telah berhasil mengekspor 60 ton singkong olahan dalam bentuk Mocaf (Modified Cassafa Flour) ke Inggris. Apa yang dilakukan petani Muhammadiyah itu diharapkan menjadi inovasi bangsa kita menjauhi budaya import dan memperbanyak export.

Upaya ini mudah-mudahan dapat meningkatkan derajat dan kesejahteraan para petani singkong. Untuk diketahui, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), 98 persen petani singkong hidup di bawah garis kemiskinan. Pertanian singkong memang bukan ladang yang menguntungkan.  Produktivitas per hektar hanya sekitar 25 ton saja. Bandingkan dengan Nigeria yang 50 ton atau Thailand 30 ton.

Kelangkaan bibit unggul bersertifikat, seperti kata Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, menjadi salah satu kendala produksi singkong.  Akibatnya biaya produksi menjadi tinggi. Menurut Ketua Masyarakat Singkong Indonesia, Suharso Husen, biaya produksi bisa mencapai Rp.6.OOO per kg. Kondisi ini menyebabkan kita kalah bersaing dengan harga import dari Vietnam dan Taiwan. Mereka bisa melepas dengan harga Rp.4.3OO. Itulah sebabnya para konsumen terutama industri lebih menyenangi membeli singkong dari luar.

Menurut Dirjen Suwandi, sebenarnya prospek pertanian singkong cukup bersinar. Tergantung bagaimana kita pandai mensiasatinya. Misalnya ada varietas bibit bernama Darul Hidayah dari Lampung atau Mukijat dari malang, produksinya bisa mencapai 100 ton lebih per hektar.

Singkong itu diperlukan untuk  bahan baku industri seperti industri kayu lapis, tekstil, bioethanol, produksi mie instant dan lain-lain. Untuk industri mie instan saja  cukup tinggi. Bangsa kita  ini penyuka mie instant  ke dua terbesar di dunia setelah China. Singkong juga diperlukan untuk olahan makanan. 

Untuk industri saja, tahun ini diperlukan sekitar 400 sampai 500 ribu ton. Jumlah ini pun telah menurun jauh. Tahun 2012, kita masih impor singkong sekitar 1 juta ton.

Jadi tantangan kita adalah meningkatkan produksi singkong domestik sampai memenuhi kebutuhan baik untuk industri maupun untuk konsumsi. Caranya dengan penggunaan bibit unggul dan perluasan lahan tanam.

Sekarang ini kata Dirjen Suwandi lahan tanam singkong kita hanya tinggal 630 ribu.  Food Estate singkong yang dikelola Menhankam Prabowo Subianto pada tahap awal baru akan tanam singkong seluas  1 juta hektar.  Jadi masih perlu dicari lagi  lahan lain. menurut data,   kita ini  punya 24 juta hektar lahan terlantar yang bisa dimanfaatkan. Seperti dikatakan pak Dirjen Suwandi,  singkong itu mudah  tumbuh di sembarang lahan. Di dataran tinggi maupun rendah.

Sekarang ini tercatat ada  8 provinsi yang menjadi sentra singkong.  Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Yogya, NTT, Sulsel dan Sumut.

Menurut sejarah, singkong mulai di tanam di nusantara tahun 1810, dibawa pemerintah kolonial Portugis. Pada tahun 1814-1918 terjadi krisis pangan. Hal ini memaksa masyarakat kita menggunakan singkong sebagai makanan utama ke 3 setelah padi dan jagung.

Singkong juga pernah direkomendasikan tim nasional penggunaan bahan bakar nabati tahun 2006. Waktu itu untuk mengatasi melonjaknya BBM fosil, Presiden SBY memutuskan penggunaan bahan bakar nabati.  Ada 49 jenis  tanaman di Indonesia yang dapat diolah menjadi bahan bakar terbarukan. Tim merekomendasikan singkong dan jarak pagar untuk digalakkan menjadi bahan bakar terbarukan itu.  Dirancang pula pendirian 11 industri pengopahan dengan biaya 200 trilyun rupiah.  Namun ternyata program itu bagai mati suri. Tak berkelanjutan.- ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun