Beberapa hari terakhir, media sosial dipenuhi video pelamar kerja berjubel di sebuah job fair di Cikarang, Bekasi.Â
Ribuan anak muda, sebagian besar di usia produktif, tampak berdesakan mencari peluang kerja. Mirisnya, beberapa di antara mereka bahkan harus tumbang akibat kelelahan.
Pemandangan ini menyisakan pertanyaan besar: benarkah sebanyak ini angkatan kerja produktif kita yang masih menganggur? Jika satu daerah metropolitan saja seperti ini, bagaimana dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia?
Di tengah situasi ini, pemerintah semestinya hadir lebih aktif. Bukan sekadar memastikan angka pengangguran menurun, tetapi juga menciptakan lapangan kerja layak yang membuat generasi muda kita mandiri dan berdaya.Â
Sayangnya, perhatian justru lebih terfokus pada program Makan Bergizi Gratis (MBG).
MBG: Langkah Positif yang Belum Tuntas
Tidak ada yang salah dengan MBG sebagai inisiatif pemerintah. Memberikan akses makanan bergizi secara gratis kepada masyarakat, terutama mereka yang rentan, adalah bentuk kepedulian yang nyata. Nutrisi yang baik memang fundamental, terutama bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Namun, apakah ini cukup? Apa artinya tubuh sehat jika mereka tetap tidak memiliki pekerjaan untuk menyambung hidup? Bukankah lebih baik jika nutrisi bergizi yang diberikan juga disertai dengan kebijakan yang mampu membuka jalan kemandirian ekonomi?
Masalahnya Lebih dari Sekadar Nutrisi
Program MBG berpotensi menciptakan ketergantungan jika tidak diimbangi dengan langkah yang lebih strategis. Alih-alih menjadi solusi permanen, program ini bisa berujung sebagai "pemadam kebakaran" yang hanya menyelesaikan masalah jangka pendek.