Resensi Guru Aini: Mereka yang Bertahan adalah yang Benar-Benar Belajar
Guru Aini merupakan novel pertama dari trilogi Guru Aini karya Andrea Hirata, maestro prosa asal Belitung. Bercerita tentang perjuangan seorang guru cerdas nan idealis mengajar di pedalaman pulau Tanjong Hampar, di ujung selatan pulau Sumatera. Pertama terbit tahun 2020, oleh Bentang Pustaka. Memuat 306 halaman dan memiliki rating 4,52 di goodreads (3/2/2023).
Membaca novel Guru Aini akan membawa kita ke dalam realitas pendidikan Indonesia yang penuh ironi. Di dalamnya kita akan diperkenalkan dengan beberapa tokoh, dengan lika liku pendidikannya yang super duper unik dan inspiratif. Sebut saja tokoh guru Desi Istiqomah yang istiqamah seperti namanya, Debut Awaludin si genius matematika, dan Nuraini (Aini) si pembelajar berhati baja.
Dari Trio Matematikos (mengambil gabungan istilah yang ada dalam novel) inilah para pembaca akan diberikan sebuah perspektif tentang bagaimana relasi antara guru dan murid, kekuatan cita-cita dan harapan, serta pemaknaan ilmu pendidikan dan implikasinya terhadap kehidupan.
Guru Desi, Killer, Matematikawan, dan Sang Idealis
Sudah bukan hal baru lagi bahwa guru merupakan profesi yang dianggap penuh problema. Bagaimana tidak, di satu sisi guru dianggap sebagai profesi yang sangat penting, tetapi di sisi lain guru dianggap sebagai profesi yang kerap--secara langsung maupun tidak langsung--diremehkan dan tidak dihargai.
Hal ini bertambah runyam ketika kebijakan yang ditentukan pemerintah, terkadang tidak sesuai dengan kehendak atau tidak disukai guru. Contohnya saja seperti peningkatan kualitas dan kapasitas guru yang super duper ribet serta harus siap mengabdi kepada negara--bahasa buminya--siap ditempatkan di mana saja, di mana pun itu tempatnya, di seluruh wilayah NKRI. Jika tidak siap maka silakan keluar dari sistem dan ... semoga beruntung. Sederhananya itulah realitas dunia guru yang kita ketahui hingga saat ini.
Akan tetapi, membaca Guru Desi dalam novel Guru Aini akan kita temukan semangat dedikasi seseorang yang benar-benar mencintai ilmu dan pendidikan. Tidak peduli penilaian orang lain seperti apa, tidak peduli dikaryakan di mana, tidak peduli budaya formalitas sekolah yang tidak pro murid, yang ia pedulikan hanyalah murid dan bagaimana menularkan semangat belajar yang ia punya kepada anak didiknya tersebut.
Desi Istiqomah diceritakan sebagai seorang genius matematika yang ingin menjadi guru setelah termotivasi oleh guru matematikanya di masa SMA. Keinginan Desi sangatlah kuat, bahkan upaya pencegahan yang dilakukan sang ibu tidak bisa meruntuhkan keinginannya tersebut. Karena idealisme itu jugalah, Desi yang pada awal kelulusannya di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) ditugaskan di salah satu kota besar lebih memilih sekolah di pedalaman pulau Tanjong Hampar, menyelamatkan temannya yang gamang karena dikaryakan di sana.
Dari Guru Desi inilah pembaca juga akan memahami bahwa profesi guru tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mereka yang memilih profesi ini harus benar-benar memiliki passion dan minat yang tinggi pada dunia pendidikan. Selain itu, seorang guru juga harus memiliki integritas terhadap keilmuan yang diampunya. Harus menjadi ahli dan harus mampu memberikan beragam solusi dalam menghadirkan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi murid.
Jika seorang guru tidak memiliki itu semua maka pembelajaran yang disajikan dapat dipastikan kering, statis, dan tidak memberikan kesan berarti bagi murid. Hal ini pun dapat terlihat dari rekan Guru Desi yaitu Guru Tabah. Sebagai sesama guru matematika Guru Tabah cenderung lebih menerima, ikhlas, dan tabah--seperti namanya--jika di kelasnya ada murid yang lambat dalam mengikuti pembelajaran. Tidak ada usaha untuk pembenahan dan cenderung cuek serta meninabobokan.