Mohon tunggu...
Kang Deden A.H
Kang Deden A.H Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis buku Best Seller, Di Balik Runtuhnya Turki Utsmani, Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara, Revolusi Sosial Muhammad, Bergembira di Jalan Dakwah, Meniti Jalan Takwa, Mata Air Kepemimpinan Rasulullah. Pengajar. Pengasuh Pesantren Mahasiswi Asma Amanina.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelayaran-pelayaran Pertama

2 Maret 2021   08:27 Diperbarui: 2 Maret 2021   08:33 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa Nusantara pertama kali dikenal dalam sejarah melalui aktivitas perdagangan jalur laut. Pertanyaannya, kapan aktivitas ini dimulai dan bagaimana dinamikanya? O.W. Wolters dalam bukunya, Kebangkitan & Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, menjelaskan bahwa hubungan perdagangan antara Cina dan Nusantara tidak mungkin terjadi sebelum abad ke-5 Masehi. Alasannya adalah sebelum abad tersebut tidak ada sama sekali catatan Cina yang menuliskan tentang wilayah Nusantara. 

Meskipun pada abad ke-3 sempat disebutkan wilayah Ko-Ying yang diidentifikasi sebagai wilayah barat Nusantara, namun informasinya hanya didapatkan melalui penuturan orang-orang Funan. Sedangkan, informasi yang lebih jelas tentang Nusantara baru didapatkan dari catatan perjalanan Faxian pada awal abad ke-5 yang sempat singgah di Jawa dengan menumpang pada kapal dagang India, dan selanjutnya meneruskan perjalanan dengan menumpang kapal dagang lainnya hingga sampai di Cina.

Lain halnya dengan hubungan dagang India dan Nusantara. Dalam sumber Cina yang berasal dari abad ke-3 disebutkan bahwa Ko-Ying mengimpor kuda Yueh-chih dari barat laut India. Wolters mengatakan bahwa pada masa itu perdagangan tersebut setidak-tidaknya sudah berlangsung satu abad dan tidak hanya menyangkut jual beli kuda.[1] 

Fakta ini dikuatkan dengan keterangan dalam Periplus yang mengemukakan tentang pelayaran Colandia dari pantai Coromandel ke Chryse yang terjadi pada abad pertama Masehi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perdagangan antara India dan Nusantara bagian barat telah terjalin sejak awal abad Masehi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hubungan dagang Nusantara dengan India jauh lebih awal daripada hubungan dagang Nusantara dengan Cina.

Pada abad ke-5 Masehi terjadi perubahan situasi di Cina yang menyebabkan meningkatnya aktivitas perdagangan di jalur perdagangan laut. Kacaunya stabilitas politik dan serangan bangsa barbar di Cina Utara pada awal abad ke-4 Masehi menyebabkan para bangsawan Cina Utara mengungsi ke Cina Selatan. Kemudian keadaan di Cina Selatan semakin baik hingga pada abad ke-5 dan ke-6 kota-kota di sepanjang Sungai Yangtse menjadi pusat perdagangan yang berkembang dan penting. Sejak masa-masa itu Cina lebih memusatkan aktivitas perdagangannya melalui jalur laut daripada jalur darat di utara yang lambat laun mulai ditinggalkan.

Di sisi lain, di wilayah barat, sejak Dinasti Sassanid menaklukan Persia jalur perdagangan laut mulai mendapatkan perhatian yang besar. Salah satu buktinya adalah perbaikan beberapa pelabuhan di daerah Teluk Persia oleh raja pertamanya, Ardashir I (226-242 M). Namun, yang menjadi faktor utama meningkatnya perdagangan jalur laut yang menghubungkan Cina di timur dan India, Persia serta Arab di wilayah barat adalah kepentingan para pedagang Cina Selatan. Sehingga, para pedagang dari barat mau tidak mau harus menempuh jalur laut jika ingin mendapatkan barang-barang dari timur. Dengan adanya situasi ini wilayah bagian barat Nusantara mendapat pengaruh yang signifikan, karena menjadi "pintu" yang menghubungkan pelayaran dagang antara timur dan barat.

Seiring dengan berjalannya waktu aktivitas perdagangan di jalur laut semakin ramai dan meluas, sehingga membentuk jaringan perdagangan regional dan internasional.[2] Situasi tersebut mendorong tumbuhnya bandar-bandar dan ibu kota di sepanjang jalur perdagangan, terutama di wilayah Nusantara yang memang memiliki letak strategis, karena dilalui rute perdagangan internasional. 

Di antaranya ada bandar-bandar besar yang berfungsi sebagai pusat ekspor-impor, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara, Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai, dan Banda Aceh.[3] Ada pula bandar-bandar kecil yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan hampir setiap kerajaan atau kesultanan memiliki bandar lebih dari satu.

Dengan adanya situasi yang demikian, Nusantara menjadi wilayah kosmopolitan yang mempertemukan banyak bangsa dan agama. Dari situasi inilah kemudian Islam hadir sebagai agama yang dominan di Nusantara. Dalam konteks masuknya Islam ke bumi Nusantara suasana kosmopolitan itu tidak boleh diabaikan. 

Sebab karakter itu menjadi salah satu faktor yang memudahkan semua bangsa asing, termasuk orang-orang Islam dari Arab atau negeri lainnya, untuk berintegrasi dengan masyarakat lokal tanpa harus dicap sebagai golongan asing.[4] Hubungan yang sangat terbuka dan cair di antara kelompok-kelompok asing dan bangsa lokal menjadikan Islam mudah diterima di tengah-tengah masyarakat Nusantara, di samping karakter ajaran Islam yang inklusif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun