Mohon tunggu...
Dede Alamsyah
Dede Alamsyah Mohon Tunggu... Penulis - Read, Write, and Reflect.

Student of Sadra Islamic Philosophy College

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Penderitaan: Dari Kesengsaraan Menuju Harapan

4 Mei 2020   13:00 Diperbarui: 5 Mei 2020   00:32 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lantas bagaimana kita menghibur diri dan memaknai penderitaan ini? 

Murtadha Muthahhari salah seorang Filsuf Islam membahas dan mengkaji problem ini secara khusus dan menaruhnya dalam satu tema besar 'Keadilan Ilahi'.

Berikut adalah solusi dari Muthahhari bagaimana memaknai penderitaan. Menurut Muthahhari perasaan pesimistis terhadap alam akan membuat perasaan tersiksa dan sengsara. Diantara sifat pesimis itu adalah anggapan bahwa alam tidak memiliki tujuan. Bagaimana tidak, manusia yang menurut fitrahnya memiliki tujuan, dihadapkan dengan pengetahuan bahwa alam tidak memiliki tujuan. Dengan sendirinya hal itu menjadi kontradiksi batin. Maka upaya kita untuk memiliki tujuan, jika dihadapkan pada pengetahuan bahwa alam tidak memiliki tujuan ibarat menulis di atas air. Hanya orang dungu yang akan melakukannya.

Sementara sebagian lain tetap memiliki ketenangan dan ketentraman ketika dihadapkan pada kenyataan dunia yang penuh derita dan kesengsaraan ini. Mereka seperti memiliki power khusus yang mampu mengalahkan absurditas yang menyengsarakan itu. Apakah kekuatan mereka, yang bisa menghibur mereka dari penderitaan? Kekuatan itu adalah harapan dan iman. Orang-orang ini yakin bahwa dunia tidak tercipta secara acak, buta, dan tidak bertujuan. Mereka yakin bahwa dunia ini dipenuhi hikmah dan pengetahuan. Orang-orang beriman dan bertauhid yakin bahwa segala yang terjadi di dunia ini akan mendapat balasan yang setimpal. Namun orang-orang yang tidak beriman tidak memiliki bahu untuk bersandar, mereka tidak punya tempat untuk menghibur hati mereka. Bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali bunuh diri. Itulah alasan paling logis dari absurditas hidup.

Dalam buku yang berjudul 'Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam', yang merupakan terjemahan dari Al-'Adl Al-Ilahiy Murtadha Muthahhari mengungkapkan data kematian saat itu dari WHO lebih banyak disebabkan karena bunuh diri daripada penyakit seperti kanker, kronis, dan sebagainya. Lebih parahnya lagi kaum terpelajar mendominasi daripada kaum awam. Alasan bunuh diri itu diantaranya disebabkan oleh putus cinta, keterasingan, gagal dalam sosial dan ekonomi, depresi, kemiskinan, dan kepercayaan pada absurditas kehidupan dan alam. Menurut Murtadha Muthahhari sebab utama bunuh diri itu adalah hilangnya keimanan pada Tuhan.

Begitu pentingnya iman. Ia bisa mengubah nestapa, kesedihan, dan kesengsaraan menjadi keceriaan, kebahagiaan, dan kesenangan. Sebaliknya, ketiadaan iman hanya akan menyebabkan kesengsaraan (Murtadha Muthahhari, 2009). 

Kesengsaraan yang dalam itu disebabkan karena kontradiksi naluri manusia, yang sejatinya memiliki harapan dan menginginkan keabadian, namun dihadapkan dengan informasi bahwa keabadian adalah dusta. Maka jelas batin akan terguncang dan tersiksa.
Kehadiran iman nampak selaras dengan naluri manusia yang mendambakan keabadian. Orang beriman menghibur diri dengan keyakinan bahwa penderitaan di dunia ini bukanlah akhir dari segalanya dan kehidupan di dunia ini bukanlah kehidupan yang sesungguhnya. Akhiratlah kehidupan yang sebenarnya dan abadi.

Kalau di dunia ini orang lain bisa menjadi penyebab penderitaan kita, yang sebenarnya tidak kita inginkan bahkan kita benci karena di luar kehendak kita, namun di akhirat adalah semua eksistensi tidak saling mempengaruhi eksistensi lain. Semua manusia merasakan balasannya masing-masing dari apa yang mereka kerjakan di dunia. Bisa saja orang baik di dunia bisa menyebabkan kebahagiaan bagi orang lain, dan orang jahat bisa menyebabkan penderitaan bagi orang lain sehingga kita menginginkan di dunia dipenuhi orang baik dan dihilangkan manusia-manusia durjana lagi jahat. Namun hal demikian tidak berlaku di akhirat. Semuanya murni merasakan kenikmatan dan penderitaan masing-masing, yang satu tidak mempengaruhi yang lain. Yang nikmat tidak akan memberikan pengaruh kepada yang sengsara, begitu juga yang menderita tidak memberikan pengaruh kepada yang merasakan kenikmatan.

Jadi, seharusnya penderitaan dimaknai sebagai sesuatu yang akan berlalu dan tidak abadi. Dengan iman kepada Tuhan, hidup menjadi tenang, dan tentram sembari menggantungkan harapan kepada-Nya. Harapan kepada Tuhan menghasilkan ketenangan, sedangkan harapan kepada makhluk menghasilkan penderitaan karena kita akan dihadapkan pada keterbatasan. Penderitaan hanya bisa diobati dengan harapan, dan harapan hanya bisa tumbuh melalui iman, karena mustahil berharap pada sesuatu sementara sesuatu itu tidak diimani keberadaannya.

Referensi:
Enz-Ta, Filsafat Promortalism - Jiwoon Hwang (Benatar) https://www.wattpad.com/amp/716551804

Reza A.A Wattimena, Trauma, Derita, dan Kebebasan https://rumahfilsafat.com/tag/penderitaan/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun