Dengan begitu, mereka bisa mencetak gol meski di kandang lawan. Tetapi, di sisi lain, mereka masih punya pekerjaan besar, yaitu menambal keroposnya lini pertahanan mereka.
Bukan hanya penting di kancah Liga Champions, tetapi juga di Serie A. Karena, melihat gawang Atalanta mudah dijebol lawan juga sering terlihat di Serie A.
Kemudian, untuk laga Chelsea vs Zenit, kita bisa melihat gaya main yang sama yang diusung Thomas Tuchel sejak menggantikan tugas Frank Lampard, yaitu bermain kuat di lini pertahanan dan berupaya efektif di lini serang.
Meski hanya menang 1-0, itu sudah cukup. Karena, saat mereka menjadi jawara Liga Champions musim lalu pun, mereka cukup mencetak satu gol dan menggagalkan mimpi Manchester City dan Pep Guardiola untuk juara.
Sepintas memang filosofi Tuchel seperti 11-12 dengan Diego Simeone. Tetapi, pendekatan permainannya secara detail masih ada perbedaan. Salah satunya dengan mengetahui bahwa Chelsea memang bisa membuat peluang jika mereka sedang menyerang.
Berbeda dengan Atletico yang memainkan strategi begitu, karena terkadang mereka seperti tidak begitu ahli dalam menguasai permainan dan cenderung ingin memanfaatkan kelengahan pertahanan lawan saja.
Lalu, sebagai pembahasan terakhir, ada barisan laga yang menggambarkan adanya kejutan dan pemandangan seru. Seperti, laga antara Sheriff Tiraspol vs Shakhtar Donetsk (15/9), Liverpool vs AC Milan (16/9), Manchester City vs RB Leipzig (16/9), dan Sporting CP vs Ajax Amsterdam (16/9).
Laga Sheriff dengan Shakhtar bisa disebut mengejutkan karena ternyata yang menang adalah klub debutan di Liga Champions. Klub asal Moldova itu berhasil memanfaatkan laga pertama yang berlangsung di kandangnya sebagai ajang perkenalan diri dengan cara yang tepat.
Kemudian, laga Liverpool vs AC Milan bisa dikatakan kejutan, karena ternyata bisa menghadirkan lima gol dalam ukuran laga besar (big match). Biasanya, laga besar cenderung mengutamakan taktik menguasai bola dan ulet dalam menjaga lini pertahanan terlebih dahulu.